Salah satu keberatan saya terhadap label agama adalah bahwa ia bertendensi kuat menyesatkan atau bikin orang gagal paham tentang apa yang dilabelinya. Sudah begitu, orang juga tergagap-gagap atas kenyataan hidup yang tidak bisa masuk dalam label-label itu; seakan-akan hidup ini harus dimasukkan dalam label-label atau stiker itu. Ini menimpa mereka yang mengafiliasikan religiusitasnya pada kepercayaan, yang selalu rawan terhadap persekusi.
Dalam teks bacaan pertama, Paulus menggambarkan suatu Gereja dalam dimensinya yang tak kelihatan. Ini bukan perkara bangunan gereja, struktur hirarkis, lembaga sosial, pokoknya apa saja yang tertangkap indra, melainkan perkara “zat” di balik apa saja yang tertangkap indra itu. Dalam perspektif saya, “zat” itu disebut “roh”, konektor antara yang ilahi dan insani. Memahami agama semata dari dimensi indrawi atas dasar karakter labelnya relevan untuk studi agama, entah sosiologi agama, antropologi agama, psikologi agama, dan seterusnya. Tentu studi itu berguna, tetapi tanpa keterlibatan hidup dengan “roh” tadi, kegunaannya semata tinggal dalam kognisi, pengetahuan, atau teori.
Mari lihat teks bacaan Injilnya, mengenai bagaimana Guru dari Nazareth memilih kedua belas rasulnya. Mereka yang bersarang dalam label atau stiker Kristen/Katolik tentu sudah biasa dengan cerita itu dan membuatnya taken for granted. Kemarin-kemarin sudah saya sitirkan bahayanya sikap itu: when you take things for granted, the things you are granted, get taken. Sementara itu, mereka yang memakai stiker lain, yang tak tahu menahu ceritanya, kurang lebih akan menghidupi semangat “emang gue pikirin, bukan agama gue juga”. Ujung-ujungnya, “zat” yang sebetulnya disodorkan penulis teks itu melayang-layang entah ke mana.
Dengan demikian, kalau hari ini Gereja Katolik memestakan dua rasul Guru dari Nazareth itu, pestanya cenderung didemarkasi pada waktu jadul dan tempat kuno. Orang lupa bahwa yang dipestakan bukan Simon dan Yudasnya, melainkan roh yang bekerja sedemikian rupa sehingga Guru dari Nazareth itu memilih mereka sebagai rasul. Apakah rasul itu ditujukan bagi mereka yang berstiker Kristen/Katolik? Ya pasti tidaklah, wong stiker itu ya baru muncul belakangan! Panggilan rasul itu juga berarti panggilan bagi orang sepanjang zaman, yang tak perlu didemarkasi pada ruang waktu tertentu. Kalau kebenaran yang diwahyukan melalui agama itu kebenaran sejati yang bersifat universal, ya tentu benar dan baik bagi agama lain dong, bukan malah disekat oleh bangsa atau bahasa agama tertentu.
Demarkasi atas dasar bangsa dan bahasa itulah yang secara heroik dilawan oleh para pemuda Indonesia hampir seratus tahun lalu. Mengapa dilawan? Karena pembatasan berdasarkan suku dan bahasa itu adalah sampah yang bisa bikin mampet tanah air Indonesia.
Sepertinya pernah saya ceritakan bagaimana keponakan saya yang masih belajar di PAUD tiba-tiba menegur saya: mengucapkan alhamdulillah itu dosa karena saya bukan orang Islam.🤭 Harusnya saya bilang puji Tuhan, atau syukur kepada Allah.😂
Oalah Ndhuk, apa pakdhemu ini kudu pamer padamu bahwa sohib pakdhe di Siria sana yang Katolik itu setiap hari sekurang-kurangnya mengucapkan alhamdulillah tiga kali sehari? Selama setahun itu njuk mesti berapa kali dia ngaku dosa?🤣
Begitulah sampah yang ditularkan sejak dini, ketika seorang anak sudah diajari untuk berpikir secara eksklusif: agamakulah yang benar, agamakulah yang punya sistem ekonomi unggul, agamakulah yang menerapkan ajaran cinta kasih sesungguhnya, dan seterusnya. Cara berpikir seperti ini benar-benar hanya akan jadi sampah pemuda.
Tuhan, mohon rahmat untuk senantiasa bekerja dengan Roh-Mu yang hadir di sekeliling kami. Amin.
PESTA S. SIMON DAN YUDAS
(Rabu Biasa XXIX A/2)
28 Oktober 2020
Posting 2019: Pray to Choose
Posting 2017: Pastor Kok Malas
Posting 2016: Agama Pilihan
Posting 2015: Sumpah Pelupa
Posting 2014: Sedikit Yang Dipilih? Gombal!
Categories: Daily Reflection
eh, ada lapak kosong, nyampah ah, eh nyumpah, eh…¡?¿! 🙂
jangan mewarisi abu sumpah pemuda, tp warisilah api sumpah pemuda. tapi ini bukan tuj akhir. hanyalah suatu jembatan menuju suatu dunia. bangunlah suatu dunia dimana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi2nya. #dr Ir Soekarno#
LikeLiked by 2 people