Nothing, Nobody

Andai saja Anda tahu bagaimana seorang Nabi seperti Muhammad SAW, yang dirayakan hari ini, dilahirkan di dunia ini, mungkin Anda juga mengerti bagaimana Allah memakai apa saja yang dipandang orang sebelah mata sebagai pijakan-Nya untuk mewahyukan diri-Nya. Masa kanak-kanak Guru dari Nazareth sudah menunjukkan bagaimana kelahirannya ditempuh dengan proses panjang, juga lewat proses pengungsian. Itu bukan satu-satunya kerjaan Allah. Nabi Muhammad, sebagai anak yatim yang hidup bersama Halimah, inang susu dari Beduin (Badui?), menjalani masa kecilnya jauh dari Mekkah, jauh dari apa yang dianggap orang sebagai masyarakat beradab.

Pada masa balitanya, anak yatim yang dijuluki ‘si Quraisy’ itu menjadi berkat sekurang-kurangnya bagi keluarga Halimah. Siapa sangka bahwa pendidikan yang diterimanya di kelompok masyarakat yang dipandang sebelah mata itu malah menjadi bekal kuat bagi Nabi Muhammad untuk membuat suatu revolusi dalam dunianya? Seperti diperjuangkan Guru dari Nazareth sebelumnya, Nabi Muhammad memperluas konsep keluarga dan suku menjadi sesuatu yang lebih agung: umat atau masyarakat Islam (yang nota bene tidak identik dengan kategori label agama zaman modern). Pendidikan masa kecilnya menjadi modal luar biasa bagi beliau untuk menantang tatanan status-quo sosial-politik tanpa gentar.

Teks bacaan hari ini menggambarkan bagaimana kegentaran absen dari kamus Guru dari Nazareth ketika jelas-jelas penguasa menjalankan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Cukup mengherankan bahwa yang memberi pesan kepada Guru dari Nazareth supaya hati-hati adalah kaum Farisi. Bisa jadi, Herodes akan memperlakukan sang Guru ini seperti Yohanes Pembaptis: penggal saja kepalanya. Mengherankan karena kaum Farisi sudah merasakan bagaimana sosok Guru ini mengusik status-quo posisi mereka dalam ranah kekuasaan religius. Bukankah kalau Herodes memenggal kepalanya, kaum Farisi itu malah tidak punya orang yang mengganggu mereka lagi? 

Mengherankan, tapi tak usah dibahas lebih lanjut karena poin yang mau saya sodorkan adalah absennya kegentaran tadi. Baik dalam diri Nabi Muhammad, Guru dari Nazareth, maupun Paulus yang berkirim surat kepada jemaat di Efesus, absennya kegentaran itu tak lain ialah perlengkapan senjata yang mereka miliki. Ini bukan pertama-tama soal angkat senjata untuk berperang, melainkan soal ketertambatan orang pada Dia yang punya kuasa atas hidup ini. Allah punya jalannya sendiri untuk mengangkat umat-Nya dari nothing jadi something, dari nobody jadi somebody.

Persoalannya, orang kebanyakan bukannya berfokus pada menambatkan diri pada Dia yang berkuasa atas hidup ini, bukan terus memperluas perspektif mengenai tauhid, melainkan malah sibuk untuk jadi somebodynya atau somethingnya. Akibatnya, yang diandalkan bukan lagi Dia, melainkan mereka yang punya tolok ukur apa saja yang bisa dilihat dengan mata kepala sendiri. Bagi orang-orang seperti ini, kisah Nabi Muhammad yang hatinya dibersihkan oleh malaikat hanyalah cerita isapan jempol anak-anak. Kelahiran Nabi Muhammad sudah sepantasnya dirayakan sebagai kelahiran pribadi manusia yang hatinya terus dimurnikan untuk mengalami perjumpaan dengan Sang Khalik, Sang Pencipta, yang mengikis kegentaran orang untuk menjalani hidup, bekerja biasa dengan hati yang warbyasak.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami mengandalkan kuasa-Mu semata sehingga kami tak sekali-sekali mencoba menjadi penguasa atas hidup yang Kauanugerahkan ini. Amin.


KAMIS BIASA XXX A/2
Maulid Nabi Muhammad SAW
29 Oktober 2020

Ef 6,10-20
Luk 13,31-35

Posting Kamis Biasa XXX C/2 2016: Benci Dosa Cinta Pendosa
Posting Kamis Biasa XXX A/2 2014: Apa Sih Yang Ditakutkan?