Saya tak ingat apakah pernah saya dokumentasikan cerita ini di sini, sebuah kisah tentang seorang manajer hotel yang melarikan salah seorang pengunjungnya ke rumah sakit karena kecelakaan. Ini terjadi pada hari Sabat, hari yang disucikan orang Yahudi sehingga mereka tidak bekerja pada hari itu. Hari Sabat adalah harinya Tuhan, dan orang tidak boleh bekerja, bahkan untuk menekan tombol lift sekalipun (itu mengapa di sebagian tempat disediakan Shabbat elevator, supaya orang yang terpaksa memakainya cukup masuk ke bilik lift yang otomatis terbuka dan tertutup sendiri).
Singkat cerita, seorang anak tamu pengunjung hotel itu celaka dengan keadaan yang mengenaskan dan memang tak mungkin ditangani dengan fasilitas hotel. Ibu dari anak ini tidak bisa berbuat apa-apa karena… ya justru itulah persoalannya. Ia tidak mungkin membopong anaknya berjalan kaki ke rumah sakit. Mau menggunakan mobilnya, kunci dipegang suaminya, dan sayangnya, suaminya persis hendak masuk tempat ibadat. Ketika manajer hotel membujuk sang suami untuk memberikan kunci mobil kepada istrinya, jawabannya negatif. Kira-kira bunyinya ialah bahwa ia tak akan membiarkan dirinya melanggar aturan agama demi menyalakan mesin mobil mereka. Manajer hotel yang rupanya bukan pemilik label agama Yahudi itu mesti pontang-panting mencari kendaraan hotel, yang rupanya juga sudah terokupasi untuk kepentingan lain, dan akhirnya dengan meminjam mobil karyawannya mengantar sendiri ibu dan anak itu ke rumah sakit.
Saya tidak yakin bahwa semua orang beragama Yahudi akan melakukan ketidakadilan yang muncul karena devosi orang terhadap aturan agama. Bahwa seorang ayah tak tergerak oleh keadaan kritis anaknya saja, itu secara manusiawi sudah sangat mengherankan. Akan tetapi, begitulah kiranya jika indoktrinasi aturan agama tanpa konteks kemanusiaan merasuk sampai sumsum jiwa orang sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan keluar atas problematika “boleh atau tidak”.
Dalam teks bacaan hari ini Guru dari Nazareth mendahului bertanya “boleh gak menyembuhkan orang?” kepada para pemuka agama yang sudah mengamat-amatinya ketika mak jegagik di hari Sabat itu ada orang sakit berdiri di hadapannya. Apakah para pemuka agama itu bisa menjawab pertanyaan? Tidak, karena itu memang pertanyaan retorik. Kalau dijawab ‘tidak boleh’ pun, saya yakin, Guru dari Nazareth tetap akan bertindak atas nama kemanusiaan. Kalau pertanyaan tadi tak bersifat retorik pun, para pemuka agama itu akan tetap bungkam karena jelaslah dalam aturan agama tak diperkenankan melakukan pekerjaan, termasuk para tabib alias dokter. Jadi, jangan sakit, jangan kena covid pada hari yang dikuduskan bagi Allah!
Di atas jalan cinta, orang tak akan pernah selesai atau tiba di tujuan. Tujuan yang satu hanyalah setapak untuk bergerak ke tujuan lain. Alhasil, bahkan aturan agama pun sudah selayaknya terbuka pada tafsir ulang seturut konteks hidup kemanusiaan. Kemanusiaan, sebagaimana ketuhanan, senantiasa punya sesuatu yang lebih dan lebih lagi untuk dihadapi, disambut, diperjuangkan. Sambutan itu hanya mungkin terjadi di atas jalan cinta tadi. Sayangnya, dimensi cinta yang lebih populer dihidupi orang, termasuk pemuka agama tadi, ialah perkara eros, yang ujung-ujungnya ialah kepentingan diri sendiri. Agama diperlakukan sebagai objek eros untuk ditaklukkan dan terjadilah penistaan, kalau bukan perselisihan.
Tuhan, ajarilah kami untuk senantiasa bergerak di atas jalan cinta-Mu. Amin.
JUMAT BIASA XXX A/2
30 Oktober 2020
Jumat Biasa XXX A/2 2014: Ganti Fokusnya, Bray
Categories: Daily Reflection