Ini bukan basa-basi bahkan meskipun orang tahu bahwa komunikasi yang baik bersifat dua arah, sedangkan donasi sewajarnya searah. Membolak-balik hal ini bisa menggemburkan motivasi untuk dominasi. Kalau betul jadi dominasi, relasinya bukan cuma jadi basa-basi, melainkan basi beneran.
Dominasi terjadi ketika jalur komunikasi dan donasi itu hanya ada dalam level horisontal tanpa melibatkan perspektif vertikal, matra batin, cakrawala rohani. Bingung gak?🤭 Harusnya bingung, karena saya membuat pernyataan umum hanya dengan dasar kejadian-kejadian khusus.😂
Tapi baiklah kita kita buktikan dengan teks bacaan hari ini saja. Di situ Guru dari Nazareth memberi nasihat mengenai etiket pergaulan berkenaan dengan undangan ke pesta perkawinan. Nasihat itu ditutupnya dengan falsafah: barangsiapa merendahkan diri, dia akan ditinggikan, barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan.
Nah, sekarang kita jujur-jujuran saja, wong sama-sama manusia juga. Anda pandir, saya juga pandir. Mengenai orang pandir, sudah sering disinggung bahwa yang dilihatnya adalah telunjuk orang yang menunjukkan bulan kepadanya.
Pada saat Anda membaca teks tadi, sangatlah mungkin Anda menelannya mentah-mentah sebagai nasihat Guru dari Nazareth mengenai etiket merendahkan diri menaikkan mutu. Tidak mau duduk di depan [karena takut ditanyai] dan memilih duduk di belakang [supaya bisa ngrasani]. Tidak mau tampil menonjol [karena malu] dan memilih bekerja di balik layar [karena takut gagal]. Pokoknya, teks itu ditangkap sebagai nasihat untuk pencitraan.
Padahal, Guru dari Nazareth tidak kelihatan sebagai orang yang sangat berminat terhadap etiket, terutama yang jelas merendahkan orang kecil. Beliau tentu tidak sedang membahas etiket. Etiket itu dipakainya untuk menggambarkan sesuatu yang lain. Kalau pembaca jeli memperhatikan cerita-ceritanya, pesta perjamuan kawin itu kerap dipakai sebagai penggambaran Kerajaan Allah. Maka, nasihat dan falsafahnya tadi tidak cocok jika diterapkan semata dalam tataran horisontal relasi antar manusia.
Bukankah lebih sesuai dengan kenyataan bahwa orang yang jujur kojur alias ancur? Apakah itu berarti Guru dari Nazareth memberi wanti-wanti “Ya sudah gapapa kojur sekarang, karena kelak kamu akan dimuliakan”?
Kalau begitu bunyi nasihatnya, sudah lama tak saya rèkěn sebagai salah satu guru saya! Guru dari Nazareth sedang melontarkan matra vertikal, perspektif kerohanian. Ini bukan pencitraan, melainkan pemitraan dimensi horisontal dan vertikal: kalau kamu mau hidup dalam Kerajaan Allah, ya jangan berpikir soal tinggi-rendah, pertama-terakhir dengan tolok ukur indrawimu!
Hari ini diperingati seorang biarawan yang bertugas sebagai penerima tamu di sebuah rumah besar. Itu dilakukannya berpuluh-puluh tahun sepanjang hidupnya. Saya yakin biarawan ini tidak punya kata ‘hanya’ dalam kamus pekerjaannya. “Saya hanya resepsionis.” “Saya hanya juru masak.” “Saya hanya RT.” Bagi beliau, siapa pun yang datang adalah representasi Tuhan yang mendekat kepadanya. Beliau tak asing dengan diskusi untuk mencari apa kiranya kehendak Allah dalam hidup orang. Itulah dimensi vertikalnya: mencari kehendak-Nya dalam hidup receh.
Tanpa dimensi vertikal itu, relasi dan pemberian diri hanya jadi perkara pencarian atau pengakuan diri, alih-alih pencarian bersama apa yang sesungguhnya dikehendaki Tuhan dalam kemanusiaan. Tanpa pemitraan ini, komunikasi dan donasi jadi ajang pembuktian diri atau prestasi.
Tuhan, mohon rahmat sikap rendah hati-Mu. Amin.
HARI SABTU BIASA XXX A/2
Pw S. Alfonsus Rodriguez (SJ)
31 Oktober 2020
Sabtu Biasa XXX B/2 2020: Cara Mati Sia-sia
Sabtu Biasa XXX C/2 2016: Cinta Itu Rendah Hati
Categories: Daily Reflection