Mother Teresa konon pernah berkomentar tentang karya pelayanannya yang diumpamakan seperti setetes air di samudera. Gak ada artinya, terlalu kecil untuk medan yang sedemikian luasnya (sebanyak-banyaknya orang terlantar yang ditolongnya, itu belum seberapa dibandingkan jumlah orang terlantar di muka bumi ini). Beliau berkomentar kurang lebih begini: pengabdian kami memang seumpama satu tetes air di tengah samudera, tetapi kalau kami tak bisa meneteskannya, samudera kurang satu tetes.
Apa artinya kurang satu tetes sih wong ya masih ada sekitar 1000¹² tetes air lainnya [Dari mana dapat angka itu ya? Mboh, ngasal aja kok]? Haiya pertanyaan itu sendiri sudah jadi persoalannya: cara pandang fungsional, utilitarian, yang memberi makna sesuatu seturut fungsinya sebagai objek; lupa bahwa yang mengerjakan adalah sosok pribadi manusia yang nilainya lebih dari sekadar objek.
Teks bacaan pertama hari ini menyinggung soal relasi Tuhan dengan umat-Nya yang diparalelkan dengan relasi suami-istri. Bagaimana mungkin ya si Paulus ini mengumpamakan relasi suami-istri dengan relasi manusia dan Tuhan wong jelas-jelas beda begitu? Tentu saja, relasi fisiknya berbeda, tetapi justru yang ditunjuk memang bukan relasi fisiknya, melainkan relasi autentik antar dua pribadi: penuh cinta dan hormat. Dalam relasi yang demikianlah bersemayam Kerajaan Allah, yang hari ini oleh Yesus diumpamakan sebagai biji sesawi dan ragi: kecil-kecil cabe rawit.
Memang di situ seperti tersodorkan pola pikir fungsional: bahwa biji sesawi dan ragi itu akhirnya berguna untuk banyak pihak. Akan tetapi, kalau kita simak teksnya sendiri, tidak ada penalaran utilitarian di situ. Sudut pandangnya tidak terletak pada perhitungan untung-rugi. Yesus hanya memberikan deskripsi: yang kecil tak diperhitungkan itu ternyata memberi rasa yang utuh, memberi tempat teduh, dan seterusnya. Ia tak berwacana mengenai burung-burung yang berteduh atau roti yang dimakan banyak orang. Kerajaan Allah lebih merupakan proses pemberdayaan, proses realisasi kemungkinan baru. Dari mana proses itu dapat dimulai? Dari relasi dengan Allah sendiri! Menjiwai hidup konkret dalam kerangka relasi dengan Allah akan mengembangkan proses itu: memandang kenyataan hidup sebagaimana Allah memandangnya. Abstrak?
Nih saya kasih lagu abstrak:
Saya sendiri suka melodinya pada menit 2:02 – 2:52. Liriknya sih sudah ‘basi’: Dengan matamu ‘ku memandang, dengan telingamu ‘ku mendengar, dengan lidahmu aku bicara, dengan hatimu aku merasa… Tak usah mengganti ‘mu’ dengan ‘Mu’, tetapi kita tahu bahwa tak mungkin memandang dengan mata orang lain secara fisik. ‘Dengan hatimu aku merasa’ senantiasa merupakan ungkapan bahwa orang ingin berempati. Empati terhadap Kerajaan Allah tak bisa dikembangkan dengan paradigma utilitarian, perhitungan untung-rugi, cara pandang kesuksesan-kegagalan, menang-kalah, dan sejenisnya.
Tuhan, mohon rahmat untuk berdiam dalam diri-Mu di setiap kesibukan kami.
SELASA BIASA XXX
26 Oktober 2016
Posting Selasa Biasa XXX B/1 Tahun 2015: Let It Go
Categories: Daily Reflection