Hidup Sekali Ini

Ada aktor terkenal, yang saya tak tahu namanya, yang pernah berseloroh,”Tuhan yang baik itu mestinya memberi dua nyawa untuk setiap orang. Yang satu untuk percobaan atau rehearsal, yang lainnya untuk benar-benar tampil di panggung.” Akan tetapi, begitulah seloroh. Pada kenyataannya, hidup hanya sekali, dan tidak ada istilahnya free practice sebelum balapan atau pertandingan yang sesungguhnya. Hidup itu sudah merupakan pertandingannya sendiri.
Lah, kok pertandingan, emang mau tanding sama siapa, Rom?
Tanding melawan kultur kematian. Ngeri ya bahasanya.🤭

Sekurang-kurangnya perumpamaan itu hendak menggambarkan bahwa peziarahan hidup ini adalah perjalanan menantikan pesta. Juga kalau orang berkeyakinan bahwa akhir zaman adalah hari penghakiman, ia tak perlu membayangkan bahwa hari akhir itu adalah saatnya berjumpa sosok Allah yang sudah siap dengan daftar dosa dan kesalahan yang dibuat orang selama perjalanannya.
Mari lihat seremoni perkawinan zaman now dan seremoni perkawinan yang diinsinuasikan perumpamaan ini. Sama-sama ada prosesi penjemputan mempelai. Dalam kultur Yahudi, yang dijemput adalah mempelai pria, dan begitu tiba di tempat pesta, ia disambut dengan peluk cium bahagia karena setelah setahun berlalu tak melarikan diri dan berkomitmen pada perempuan yang sudah dilamarnya. Dalam seremoni di gereja, biasanya mempelai wanita yang dijemput dari depan gereja untuk diserahkan pada mempelai pria yang sudah menunggu di depan altar. 
Pokoknya, ini adalah perjalanan menuju pesta yang sewajarnya menggembirakan.

Sayangnya, tidak semua orang beriman memperlakukan hidupnya seperti itu. Perumpamaan hari ini menggambarkan bagaimana lima gadis bodoh yang tak antisipatif lagi solutif. Sudah tidak bawa minyak cadangan, entah dengan alasan apa, masih pula hendak meminta minyak cadangan gadis bijak. Baik gadis bodoh maupun gadis bijak sama-sama tertidur karena mempelai yang mereka nantikan datangnya begitu larut; dan memang bisa jadi peziarahan hidup tidak selalu jadi perjalanan menuju pesta dan orang kelelahan atau terbuai mimpi.

Gadis yang bodoh terbuai mimpi dan benar-benar kealpaannya untuk membawa minyak cadangan membawa petaka. Mereka mencoba mengais rezeki dengan meminta minyak cadangan dari gadis bijak, tetapi gadis bijak itu berpikir bijak: kalau cadangan ini kamu minta juga, bisa jadi kita malah tidak bisa menyambut mempelai karena baik pelitamu maupun pelitaku mati kehabisan minyak cadangan. Apa boleh buat, namanya juga gadis bodoh, mereka pergi membeli minyak cadangan dan pada momen itu mempelai datang dan pesta dimulai.

Gadis bodoh tiba pada saat pesta sudah berlangsung. Terlambat sudah, dan tak bisa diputar balik dari awal. Hidup cuma sekali dan yang cuma sekali itu memang perlu ditata sedemikian rupa dengan antisipasi dan solusi yang tepat supaya ujung-ujungnya sungguh-sungguh jadi pesta yang menggembirakan.

Dengan demikian, minyak cadangan memang kunci untuk peziarahan hidup yang utuh sampai akhir. Minyak itu bisa ditafsirkan sebagai Cinta atau Sabda Allah. Semakin orang abai terhadapnya, semakin ia berpotensi mengakhiri peziarahan hidupnya dalam kegalauan, bukan dalam pesta yang menggembirakan. Bisa jadi perjalanan hidup orang mengalami aneka pengorbanan atau kecelakaan atau tragedi, tetapi ‘minyak cadangan’ itu bisa menyelamatkannya pada momen genting dan ia tak kehilangan momen pesta di ujung peziarahannya.
Tuhan, mohon rahmat untuk bertekun dalam Cinta, dalam Sabda-Mu yang jadi tuntunan bagi peziarahan hidup kami.
Amin.


HARI MINGGU BIASA XXXII A/2
8 November 2020

Keb 6,13-17
1Tes 4,13-18
Mat 25,1-13

Posting 2017: Hai, Gadis Bodoh