Konon, memilih itu ada seninya. Artinya, ada keindahannya, dan keindahan itu merangkul elemen suka-duka hidup orang, menyenangkan atau menyakitkan. Carlos G. Valles (Art of Choosing) menyodorkan karikaturnya dalam peristiwa sehari-hari yang dijumpainya: seorang anak yang belum kenal opsi memilih “ini atau itu”. Tahunya ya “dua-duanya atau tidak sama sekali”. Anda tahu bahwa keadaan ini sebetulnya tidak eksklusif milik anak-anak, tetapi juga mereka yang memelihara sifat kekanak-kanakan. Mereka ini bisa juga Anda dan saya.
Ceritanya si anak diberi kesempatan ibunya untuk memilih satu dari boneka yang ada di toko, tetapi dia menyukai dua boneka di situ. Maka dikempitnyalah dua boneka itu seraya meyakinkan ibunya bahwa ia bisa membawa dua boneka itu sekaligus. Akan tetapi, ketika ibunya secara asertif mengatakan bahwa dia hanya bisa ambil satu, si anak menjatuhkan kedua bonekanya. Sang ibu berusaha menjelaskan bahwa lebih baik mengambil satu daripada tidak sama sekali. Si anak belajar untuk memilih yang satu dan meninggalkan yang lainnya. Akhirnya, dibayarlah satu boneka itu dan ketika mereka hendak keluar dari toko, si anak berlari ke arah boneka yang ditinggalkannya, menciumnya, lalu berlari lagi kepada ibunya. Sang anak belajar bahwa membuat pilihan itu menyakitkan juga, tetapi itulah yang memperkembangkan hidupnya.
Pilihan semacam itu memang menyakitkan: dua hal yang sama-sama menyukakan hati tetapi orang mesti terpisah dari salah satunya, bahkan jika dua hal itu berbeda matranya. Teks bacaan hari ini menyodorkan pilihan seperti itu: tak bisa mengabdi dua tuan, mesti pilih Tuhan Allah atau mamon bin kekayaan.
Akan tetapi, karena matranya berbeda, sebetulnya pilihan itu adalah perkara menentukan kiblat. Mari lihat bagaimana saudara-saudari muslim menjalankan ritual ibadatnya: mengarahkan diri pada Ka’bah di Makkah. Saya tidak menangkapnya semata sebagai tata cara ritual, tetapi sebagai simbol keterarahan orang pada Tuhan Allahnya.
Dengan demikian, kiblat tidak bisa diarahkan pada dua hal: Allah dan mamon. Orang mesti memilih salah satu saja. Orang beriman jelas berkiblat pada Allah (seharusnya). Akan tetapi, ini sama sekali tidak berarti bahwa orang tak bisa menggapai mamon atau memiliki kekayaan. Poinnya bukan bahwa Allah melawan mamon atau kekayaan, melainkan bahwa kekayaan yang fana itu perlu dikelola sedemikian supaya klop dengan kiblatnya: memuliakan Allah dalam kemanusiaan yang bermartabat.
Godaannya selalu hadir dalam mamon itu sendiri: kekayaan bisa mengalihkan kiblat. Pernah saya kutip kekhawatiran sosiolog: bukan bahwa robot AI mampu berpikir seperti manusia, melainkan bahwa manusia berpikir seperti robot. Kalau manusia berpikir seperti robot, bahkan kalau dalam robot itu dibenamkan sensor canggih untuk mengukur suhu, hormon, gelombang, dan sebagainya, manusia lain bakal ditempatkannya sebagai objek yang bisa dikalkulasi dan dimanipulasi dengan materi. Tidak ada relasi sejati. Adanya relasi kekuasaan, yang menjauhkan orang dari kiblat hidup sesungguhnya.
Orang yang berkiblat pada Allah, menggunakan atau mengabaikan ciptaan di sekelilingnya bukan supaya ia dapat mendominasi ciptaan lainnya, melainkan supaya cinta Allah YME itu bisa menjangkau bahkan yang paling lemah, paling berdosa, paling ancur, dan seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat kesadaran supaya kiblat kami tak berpaling dari cinta-Mu. Amin.
SABTU BIASA XXXI A/2
7 November 2020
Sabtu Biasa XXXI B/2 2018: Politik Genderuwi
Sabtu Biasa XXXI C/2 2016: Semoga Cepat Waras
Sabtu Biasa XXXI A/2 2014: Ayo Bebenah
Categories: Daily Reflection