Sewaktu SMP, saya punya beberapa teman yang berkomitmen untuk menyisihkan uang sangu setiap hari dan pada saatnya kami akan jajan bareng di Blok S. Teman saya beragama Katolik, Hindu, dan Islam. Pada bulan puasa Ramadan, iuran bersifat fakultatif, demikian juga jajannya. Kalau diputuskan jajan sepulang sekolah, kami mengerti bahwa teman yang muslim tidak ikut makan bersama kami.
Tengah kami makan dan berbincang-bincang, dari balik penutup warung itu kami dengar teriakan keras dari anak yang lewat di situ,”Iya lu enak-enak aja makan, kagak puasa!” Saya terheran-heran, sementara teman saya terbengong-bengong. Inilah pengalaman yang muncul ketika saya membaca teks hari ini, yang mengisahkan bagaimana murid-murid Yohanes Pembaptis dan orang Farisi mempersoalkan mengapa murid Yesus tidak berpuasa seperti murid-murid mereka.
Jawaban Yesus menarik, yaitu dengan analogi seputar pesta mantenan: kalau mempelai yang dinantikan itu sudah datang, ngapain sahabat-sahabatnya berpuasa? Puasa itu terjadi kalau mempelai yang dipestakan itu belum datang; meskipun seluruh sajian lezat sudah tercium aromanya, orang mesti tahan sebentar sampai yang dipestakan tiba. Puasa mendapatkan maknanya dari relasi yang terbangun antara sahabat dan mempelai yang dipestakan. Tidak hanya puasa, tetapi juga praktik keagamaan yang lain, mendapatkan makna atau arti barunya dari relasi dengan mempelai tadi.
Siapakah mempelai itu? Ya Dia yang dinanti-nantikan orang beragama, yang dirujuk sebagai Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widi, dan lain-lainnya. Jadi, puasa dan praktik keagamaan lain tidak ada maknanya jika dilakukan demi puasanya sendiri atau pengagungan praktik keagamaan lainnya. Orang beragama yang waras tahu bahwa poin yang disasar bukan puasa atau ritual agamanya sendiri, apalagi pernik-pernik formal ritualnya, melainkan relasi dengan Dia yang dibangun lewat praktik keagamaan itu.
Kembali ke pengalaman SMP saya, suara anak yang meneriaki kami saat makan itu merepresentasikan orang beragama yang ribet dengan praktik puasanya (sehingga harus membandingkannya dengan apa yang dilakukan orang lain). Sementara itu, teman saya yang berpuasa, terhadap kami seakan-akan menyatakan “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”.
Jawaban teman saya ini tidak untuk memperdebatkan agama mana yang benar, melainkan agama yang sungguh mengantar orang pada Allahnya; tentu berbeda bagi setiap orang karena caranya memang beragam seturut hidayah yang diterima masing-masing. Apa pun argumentasi di dalamnya, praktik keagamaan hanya bermakna jika orangnya sendiri punya relasi dengan Allah yang dirujuk agama tadi.
Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati dan budi untuk menangkap kehadiran-Mu dalam hiruk pikuk hidup kami. Amin.
SENIN BIASA II B/1
18 Januari 2021
Posting 2019: Gaji Naik, Semua Beres
Posting 2017: Ahok, Saya Tersinggung!!!!!
Posting 2015: Ngapain Juga Puasa?
Categories: Daily Reflection