Karena Allah itu misteri yang tak terpecahkan, kerap orang beragama sekadar memberi kualifikasi pada-Nya dengan kata “maha” untuk segala jenis sifat yang dianggap baik. Jadilah: mahabaik, mahamurah, maharahim, maha mendengar, mahatahu, mahakuasa, dan seterusnya. Akan tetapi, kalau orang kemropok pada mereka yang tampak sok kuasa, lantas berujar dalam hati dengan gaya Jawa “titènònò kowé” alias “awas liat aja ntar” akhirnya akan ada langit di atas langit, ia perlu bertobat. Ini salah satu penerapan saran teks bacaan hari ini.
Loh, bukankah memang di atas langit ada langit, Rom?
Betul, dan justru itulah persoalannya. Dalam keyakinan itu terselip paham kemahakuasaan Allah sebagai yang paling berkuasa dari semua saja yang berkuasa, paling kuat dari siapa saja yang kuat, dan seterusnya.
Loh, ya memang gitu kan, Mo?
Lah loh lah loh aja! Sadarkah Anda bahwa kacamata atau perspektif yang Anda pakai untuk memahami Allah itu adalah perspektif struggle for life yang ideologinya adalah survival of the fittest?
Lha iya, Rom, maksud saya emangnya kenapa dengan perspektif itu?
Itu adalah perspektif dunia fabel, untuk tidak mengatakan dunia binatang. Kalau orang beragama memahami Allah sebagai yang paling kuat dari siapa saja yang kuat, bukankah dia sedang memasukkan Allah dalam dunia binatang? Bukankah dengan dengan begitu ia akan tergiring untuk menghidupi spiritualitas menang-kalah, benar-salah, cari selamat sendiri? Allah macam mana yang menginginkan umat-Nya berlomba-lomba dengan insting binatang untuk saling menundukkan?
Memang sih, manusia itu binatang juga, tetapi kalau akal budinya tak berfungsi untuk memahami Allah di atas langit yang menghendaki seluruh ciptaan-Nya selamat, jangan-jangan keterangan “juga” itu tak relevan. Kalau manusia itu binatang belaka, jangan-jangan Allahnya tak lain adalah monster, bahkan meskipun diberi atribut kualifikasi yang indah: maha. Allah macam begini siap menghancurkan mereka yang hidupnya tak karuan; itulah pesan yang disampaikan Yunus dalam teks bacaan pertama. Akan tetapi, bukankah Allah tidak semengerikan itu?
Panggilan para murid dalam teks bacaan hari ini bisa juga dimengerti sebagai undangan supaya umat beriman beralih dari dunia hidup binatang ke dunia hidup manusia sesungguhnya. Hidup manusia sesungguhnya itu dijiwai oleh Allah di atas langit, berkiblat pada-Nya. Alasan berkiblat ini bukan karena Dia yang paling kuat, yang bisa menentukan segala-galanya, melainkan karena Dia menghendaki bahwa manusia, seperti bangsa Niniwe dalam teks bacaan pertama, bersama-sama menata hidup seturut identitasnya sebagai ciptaan Allah: manusia.
Tuhan, mohon rahmat pengertian mendalam akan kemanusiaan yang Kautanamkan dalam diri kami. Amin.
HARI MINGGU BIASA III B/1
Minggu, 24 Januari 2021
Yun 3,1-5.10
1Kor 7,29-31
Mrk 1,14-20
Posting 2018: Kecanthol Apa
Posting 2015: Sementara Nan Abadi
Categories: Daily Reflection