Dari premis deskriptif hanya dapat diperoleh kesimpulan deskriptif. Misalnya, premis mayornya berbunyi “semua yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa adalah orang gila”. Premis minornya berbunyi “Giblig dirawat di Rumah Sakit Jiwa”. Jadi, kesimpulannya juga deskriptif: Giblig adalah orang gila. Kalau kesimpulannya normatif (misalnya: memang seharusnya Giblig dirawat di Rumah Sakit Jiwa), berarti logikanya ngawur. Logika ngawur seperti ini yang rupanya diterapkan oleh kerabat Guru dari Nazareth.
Dua ayat bacaan hari ini menampilkan dua dunia dan dua mentalitas yang rupanya bertentangan, direpresentasikan oleh Guru dari Nazareth dan kerabatnya. Tidak banyak keterangan yang bisa diperoleh dari teks; hanya bisa dibayangkan bahwa Sang Guru sedemikian sibuknya sehingga bahkan untuk makan pun beliau tak berkutik. Banyak orang berkerumun untuk aneka kepentingan sehingga kerabatnya menganggap Sang Guru ini sudah tidak waras lagi. Apakah hanya karena begitu sibuk sehingga makan pun tak bisa, njuk disimpulkan bahwa Sang Guru ini tak waras lagi?
Untuk mengerti pertentangan mentalitas ini kiranya dibutuhkan keterangan dari teks lain. Misalnya, dari teks Mat 12:47-50 diketahui bagaimana Guru dari Nazareth mendefinisikan ulang relasi kekerabatan: kerabat dekat beliau ialah siapa saja yang hidup melaksanakan kehendak Allah. Dari pendekatan kultural juga bisa dimengerti bagaimana tren masyarakat Yahudi pada masa pendudukan bangsa Romawi itu: kohesi sosial komunitas semakin menipis karena mentalitas invividual yang ditularkan ideologi asing. Keluarga-keluarga cari asal selamat, bertahan hidup, dan perhatian pada komunitas luas semakin pudar; padahal komunitas luas itulah yang semula jadi tolok ukur bahwa cinta kepada Allah maujud dalam cinta kepada sesama.
Guru dari Nazareth rupanya bertahan dengan agendanya untuk membangun Kerajaan Allah, yang berarti merangkul seluas mungkin orang. Bahwa ini dianggap tidak waras oleh kerabatnya sendiri, tidaklah mengherankan, karena anggapan itu berasal dari mereka yang bermentalitas individual, yang mencari pemenuhan kebutuhan sendiri.
Dengan demikian, orang beriman tak perlu khawatir atau cemas, apalagi takut, hanya karena dianggap sinting sejauh secara tulus menekuni pencarian dan pelaksanaan kehendak Allah. Tentu ada banyak label selain sinting, tetapi prinsipnya sama: perspektif hidup umat beriman tidak pernah berangkat dari apa yang menyenangkan invididu-individu tertentu (bahkan jika individu adalah darah dagingnya sendiri), tetapi dari apa yang kiranya ‘menyenangkan’ Allah. Jika karena menghayati perspektif itu orang dianggap sinting, kulit badak, kepala batu, dan lain sebagainya, ia bisa meniru senior saya dengan senyum (dalam hati) mengatakan “menyenangkaaaaan”.
Ya Allah, mohon rahmat ketekunan untuk mencari, menemukan, dan melaksanakan kehendak-Mu dalam hidup kami yang serba receh. Amin.
SABTU BIASA II B/1
23 Januari 2021
Posting 2017: Ayo Belajar Memanah
Posting 2015: Dasar Orang Gila!
Categories: Daily Reflection