Secara teoretis, tujuan hidup orang beriman itu sederhana banget: hidup bersama Dia dan mewartakan kebersamaan itu dalam relasinya dengan panci, cangkir, komputer, meja-kursi, ikan, tanaman hias, adik-kakak, (mantan) pacar, suami, istri, mertua, anak-anak, tetangga, Pak RT, dan seterusnya. Sesederhana itu, apa pun status sosial, jabatan atau kedudukannya. Orang boleh saja bercita-cita dan sekuat tenaga berusaha menjadi pebisnis kaliber internasional, jadi presiden, menteri, pemuka agama, pertapa, wakil rakyat, pemulung, koruptor, bandar narkoba, tetapi sejatinya yang diperlukannya ‘cuma’ tadi itu: hidup bersama-Nya dan menghayatinya dalam relasi dengan yang lain itu.
Akan tetapi, yang sederhana itu jadi runyam karena orang tak menemukan konektor antara “hidup bersama Dia” dan “relasi dengan yang lain” tadi. Slogan “ora et labora” dianggap semata pemenuhan delapan jam bekerja dan satu atau dua jam berdoa dalam sehari. Orang mengalami keterpecahan dalam hidupnya karena mengidentikkan “hidup bersama Dia” dengan doa ritual dan “relasi dengan yang lain” dilekatkan dengan kerja urusan duniawi. Seakan-akan nih, dua hal itu tak saling memengaruhi. Akibatnya bisa dikelompokkan dalam dua ekstrem.
Pertama, orang menganggap keberhasilan atau kegagalannya semata karena kekuatannya atau kesalahannya sendiri. [Mungkin masih mending daripada mereka yang menganggap kesuksesan sebagai akibat kekuatannya sendiri dan bencana sebagai akibat kesalahan orang lain.🤭] Secara teknis, orang seperti ini menghidupi ateisme praktis, dan tak perlu buru-buru menilai bahwa orang ateis praktis ini jahat. Bisa jadi sebaliknya, orang ateis praktis ini baiknya setengah mati. Ini sudah saya senggol dalam posting Agama Tak Menjamin Moral.
Kedua, orang menganggap keberhasilan atau kegagalannya semata karena berkat atau kutukan Tuhan. Istilah kerennya paham predestinasi alias takdir. Mbok Anda mau ikhtiar bagaimana pun, kalau Tuhan menakdirkan Anda jadi koruptor, selamanya Anda jadi koruptor. Ini paham zadul, tetapi orang zaman now juga ada sih yang memegang keyakinan itu karena soal keyakinan memang tak kenal waktu alias lintas zaman. Loh, bukankah murid pilihan Guru dari Nazareth yang disebut dalam teks hari ini memang ditakdirkan jadi pengkhianat?
Itu saya cuma bisa katakan bahwa pernyataan itu postfactum; sudah terjadi, baru dibilang takdir. Saya sendiri yakin memang ada predestinasi, tapi cuma dua: kelahiran dan kematian. Perkara caranya gimana, ya bergantung kualitas penggunaan konektor yang ditemukan orang beriman. Konektor itu apa ya?
Kesadaran akan Sabda Allah yang berkelindan dalam rasa, kehendak, budi, dan imajinasi orang. Nah, bukankah itu mesti dicari dalam doa dan kerja. Sesederhana itu: hidup bersama-Nya dalam setiap relasi dengan yang lain-lainnya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menangkap Sabda Cinta-Mu. Amin.
JUMAT BIASA II B/1
22 Januari 2021
Posting 2017: Sukurin!!!
Posting 2015: Penangkal Selingkuh
Categories: Daily Reflection