Bayangkanlah Anda menemukan lampu Aladdin dan karena jin di dalamnya begitu murah hati, Anda diberi kemampuan untuk mengusir setan, bicara dalam bahasa baru, tidak celaka bahkan ketika minum racun maut [celakanya setelah minum🤭], menumpangkan tangan kepada orang sakit dan orang sakit itu sembuh.
Saya tak tahu apa yang Anda bayangkan, tetapi setelah Anda menyadarinya bahwa itu hanyalah angan-angan Anda, apakah Anda berpikir bahwa kemampuan yang diberikan kepada Anda tadi juga hanyalah ilusi? Kalau ya, barangkali iman Anda juga hanya ilusi.
Teks bacaan hari ini memberi petunyuk keberimanan seseorang dan ini bukan ilusi; sangat nalar. Nalarnya gimana? Pada umumnya orang mengangan-angankan apa yang tak dipunyainya dan mungkin mengabaikan apa yang ada padanya [itu kenapa orang cenderung susah bersyukur]. Maka dari itu, bayangan tentang kemampuan-kemampuan tadi bisa saja menandakan prasangka naif Anda: minta dipagut ular berbisa dan baik-baik saja, melihat orang kerasukan lalu dengan sekali bentak setannya ngeloyor pergi, mendapat wangsit dan bisa ngecipris bahasa kuno, memegang kepala penderita covid-19 njuk sakitnya hilang.
Padahal, kemampuan yang jadi petunjuk keberimanan tadi sebetulnya sudah ada dalam diri Anda: ketika Anda menemukan bahasa baru dalam berkomunikasi, ketika Anda membasmi racun yang mematikan hidup bersama (gosip, hasrat menonjolkan diri dengan menonjok orang), ketika Anda memiliki hospitalitas terhadap mereka yang sakit. Ini adalah kemampuan potensial yang ada dalam setiap diri orang beriman, yang aktualitasnya hanya bergantung pada bagaimana orang beriman ini sungguh mau bekerja sama dengan Allah yang mengutusnya untuk jadi saksi.
Baru saja saya terima kabar, bukan yang pertama, bagaimana orang, bahkan yang bersaudara sekalipun, menyingkiri atau menolak mereka yang terinfeksi virus kopit. Tentu, beriman tidak identik dengan keyakinan naif tentang kepasrahan kepada takdir dan tertular infeksi juga gapapa biar kayak orang-orang kudus zaman dulu, tetapi juga bukan berarti orang jadi paranoid dan mengabaikan nilai kebersamaan. Apa sih nikmatnya beriman sendirian? Bukankah ini juga manifestasi racun bagi kemanusiaan yang adil dan beradab?
Tuhan, ajarilah kami senantiasa bahasa cinta-Mu yang menantang kami untuk mengolah rasa dan pikiran kami secara proporsional. Amin.
PESTA BERTOBATNYA S. PAULUS
Senin Biasa III B/1
25 Januari 2021
Posting 2020: Kapokmu Kapan
Posting 2019: Kucing Anjing Kelinci
Posting 2018: Perlu Refill Hidayah
Posting 2017: Adakah Agama Kafir?
Posting 2016: Jangan Mengobjekkan Tuhan
Categories: Daily Reflection