Kalau Allah saja woles, kenapa manusia yang jadi jealous ya kalau ada orang lain yang tak percaya kepada Allah atau agama? Kenapa orang jadi ruthless bin kejam kalau berurusan dengan dogma atau hukum agama? Kenapa anak-anak jadi males bermain dengan anak lain setelah mendapat ajaran ‘tepuk pramuka’? [Jebulnya bukan cuma di pramuka ding, di paud-paud biasa tepuk macam itu juga ada. Mesakke gak sih tepuk tangan saja jadi beragama?]
Kemarin saya mendengarkan masukan dari berbagai pihak mengenai musik liturgi [musik untuk ritual ibadat dalam gereja Katolik] dan salah satunya adalah pengakuan anak muda zaman now yang sebetulnya tak jauh berbeda dari anak muda zaman old. Pada masa muda saya dulu kalau anak-anak naik mobil dan musik di dalamnya berganti genre menjadi musik rohani, mendadak suasananya jadi gerah dan semua berkipas-kipas ria kepanasan. Iya betul, setan-setan dalam diri kami meronta-ronta karena musik suci itu!
Hal serupa barangkali dialami Saulus yang baru mendengar kata Yesus saja hatinya sudah membara dan kesumatnya menyulut niat berkobar-kobarnya untuk membantai siapa saja yang mengikuti Guru dari Nazareth itu. Atau barangkali juga mirip dengan yang dialami Ignatius dari Loyola yang ketika bertemu dengan seorang Muslim yang menurutnya menista Bunda Maria njuk kegeraman menyulut sifat ketentaraannya untuk membunuh orang itu. Akan tetapi, juga dalam diri dua orang itu, Roh Allah bekerja sedemikian rupa sehingga mereka tak mengembangkan kebiasaan menghilangkan nyawa makhluk Allah.
‘Nyawa’ makhluk Allah tadi, semestinya tak perlu dibatasi dengan kategori biologis belaka. Kalau orang muda hidupnya buram, curam, kusam, muram, suram, barangkali itu tak jauh berbeda dari hilangnya ‘nyawa’ mereka; dan kalau ‘musik suci’ tadi membuat mereka suram, bisa jadi yang buram bukan cuma orang mudanya, melainkan juga ‘musik suci’-nya tadi. Kenapa? Karena ‘musik suci’ tadi rupanya tak menyentuh hati sobat ambyar.
Lah, wong namanya juga musik untuk ibadat, Rom. Ya harus siriyes dong! Ini musik buat Tuhan!
Alamak mbelgedhes gombalamoh! Apa ya belum pernah baca 1Sam 15,22 atau Mzm 40:6 sih? Musik liturgi, musik dangdut, musik pop, musik bossanova, musik lokal, interlokal, sambungan jarak jauh, semua buat manusia. Tuhan tak butuh korban sembelihan seperti zaman jebot; itu cuma demi memberi makan kepada kepala orang-orang yang ideologis!
Saya tidak mengatakan bahwa musik liturgi itu bisa sembarangan, tanpa makna, tetapi makna tak bisa ditemukan hanya dalam konteks benar-salah, pusat-periferi, lokal-internasional. Ini bisa dirembug, tetapi tidak dengan modal orang muda ngawur dan orang tua kolot, juga tidak dengan dalil gereja sana itu gereja setan atau agama sono itu agama tuyul. Semua perlu koreksi diri dan bertanya betul apa yang hendak dicari untuk kepentingan bersama. Pertobatan tidak hanya dibutuhkan Saulus, tetapi semua saja yang mau menebarkan warta gembira tanpa berlagak menjadi agen tunggal penjaga kebenaran.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat terlibat membangun kehidupan yang membahagiakan bukan hanya bagi warga kami, melainkan juga bagi seluruh makhluk-Mu. Amin.
PESTA BERTOBATNYA S. PAULUS
Sabtu Biasa II A/2
25 Januari 2020
Posting Tahun 2019: Kucing Anjing Kelinci
Posting Tahun 2018: Perlu Refill Hidayah
Posting Tahun 2017: Adakah Agama Kafir?
Posting Tahun 2016: Jangan Mengobjekkan Tuhan
Categories: Daily Reflection