Kisah air susu dibalas dengan air tuba kiranya bertebaran di mana-mana, tetapi juga air tuba dibalas dengan air susu bukannya tiada. Kisah bacaan pertama hari ini menunjukkan dua kenyataan itu. Daud memotong ujung jubah Saul yang sedang buang hajat di gua. Padahal, Saul ini sedang dalam proyek memburu Daud dan pengikut-pengikut Daud setuju bahwa itulah momen Allah menyerahkan Saul kepada Daud. Alih-alih menikamnya, Daud cuma memotong jubah Saul karena baginya lebih pentinglah hidup tak bercela di hadapan Allah dan biarlah Allah sendiri yang menghakimi apakah ia bercela atau tidak. Pokoknya, ia tak melukai Saul sedikit pun.
Kemarin saya disodori berita protes panitia pembangunan tempat ibadat kepada negara karena negara tak berdaya mengayomi warga hanya lantaran sebagian kecil warga lainnya mencatut nama agama lain untuk membatalkan renovasi tempat ibadat itu. Pembangunan tempat ibadat itu bisa melukai hati umat agama lain, katanya. Prihatin saya, meskipun bukan mantan presiden. Bagaimana mungkin tempat ibadat agama lain, sejauh memenuhi kewajaran, melukai hati orang beriman? Ini aneh sekali.
Kadang-kadang sewaktu jogging saya melewati tempat ibadat agama lain bertepatan saat jemaatnya selesai menjalankan ibadat mereka. Saya menyapa satu dua yang berpapasan atau saya lalui dan ada yang membalas sapaan dengan sangat ramah, tetapi ada juga yang diam atau bahkan menampilkan raut wajah seperti habis ketemu genderuwo. Saya sadar diri sih, saya genderuwonya (mosok orang ke tempat ibadat untuk menemui genderuwo)!
Barangkali itu jadi salah satu uji kasus bagaimana orang beragama itu beriman dan berdoa. Kalau orang sungguh mengalami perjumpaan dengan Allah, mungkinkah ia keluar dari tempat ibadat dengan perspektif bahwa orang-orang lain yang tidak berdoa seperti dirinya adalah orang-orang yang pantas masuk neraka?
Ya tentu saja mungkin, karena memang semua orang mestinya pantas masuk neraka.😁 Perkara masuk atau tidaknya, biar Allah yang mengurusnya, ngapain saya mesti ribet dengan itu, kan? Akan tetapi, begitulah kemuridan. Guru hebat tidak identik dengan murid hebat dan sebaliknya. Masing-masing orang, meskipun Gurunya sama, berkembang dengan caranya masing-masing. Begitu pula setiap orang, meskipun Allah itu esa, berkembang dengan agamanya masing-masing. Lha, kalau orang melihat orang lain berkembang dalam agamanya sendiri, mengapa ia mesti terluka hatinya ya?
Ini memprihatinkan karena semakin menjadi nyata dalam benak saya bahwa agama ki jan tenanan candu og! Orang tak lagi bisa melihatnya sebagai suatu kategori yang sebetulnya ditanam oleh manusia sendiri dengan keyakinan-keyakinan ideologisnya. Itu yang terjadi pada para murid yang dipilih Yesus dalam teks bacaan kedua hari ini. Dalam diri mereka itu juga ada atmosfer kewowogen agama dan di antara mereka sendiri ada persaingan untuk mendapatkan posisi dalam kemuridan mereka. Tentu ini disposisi kemuridan yang keliru, tetapi begitulah terjadi pada mereka.
Bisakah orang bergembira, ikut bahagia dengan kebahagiaan orang lain, juga dengan keberbedaan mereka? Orang beriman tentu bisa, karena, seperti Daud, orang beriman tidak ambil pusing dengan hal receh yang dilakukan orang lain, tetap fokus pada jalan Allah (bukan jalan agama seturut kategori pemikirannya sendiri).
Ya Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk merealisasikan cinta-Mu. Amin.
JUMAT BIASA II A/2
Pw S. Fransiskus dr Sales
24 Januari 2020
Posting Tahun B/2 2018: Rolasan
Posting Tahun C/2 2016: Baiknya Cinta Segi Tiga
Categories: Daily Reflection