Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, cinta, dan penguasaan diri. Kurang lebih begitulah kata-kata yang disampaikan Paulus, yang pertobatannya dipestakan dalam liturgi Gereja Katolik kemarin, kepada muridnya, Timotius, yang diperingati pada hari ini. Kalau Anda membaca pesan itu dalam Kitab Suci berbahasa Indonesia, Anda akan mendapati kata terakhir dari pesan Paulus itu berbunyi “ketertiban”. Begitulah terjemahan, dan saya tidak tahu mengapa σωφρονισμοῦ (sōphronismou, Yunani) diterjemahkan dengan kata “ketertiban”.🙄
Kalau pesan Paulus itu dipadukan dengan tugas dan pesan yang diberikan Guru dari Nazareth kepada murid-muridnya dalam teks bacaan kedua, barangkali bisa dimengerti bahwa Kerajaan Allah bukan pertama-tama perkara ketertiban. Konotasi ketertiban lebih merujuk pada penataan atas dasar hukum tertentu. Misalnya, aturan lalu lintas dibuat dengan asumsi masyarakat mengikutinya secara tertib. Aturan sekolah juga dibuat supaya ada ketertiban. Dari masyarakat yang tertib seperti itu, diharapkan tujuannya tercapai. Akan tetapi, di balik ideologi itu, Anda bisa melihat risiko bahwa keunikan individu bisa diabaikan atau dilindas, dan semua jadi seragam.
Kerajaan Allah mungkin malah tidak klop dengan keseragaman, karena keseragaman sangat rentan pada kepentingan ideologis yang memanfaatkan relasi kekuasaan, alih-alih relasi komunikatif. Relasi kekuasaan mengindikasikan adanya ketimpangan antara yang mendominasi dan yang didominasi. Kerajaan Allah tidak merujuk pada dominasi orang-orang di dalamnya. Satu-satunya dominasi hanyalah nilai Kerajaan Allah itu sendiri yang menuntut setiap orang di dalamnya memiliki penguasaan diri untuk menemukan nilai-nilai Kerajaan Allah itu.
Dengan pedoman nasihat Paulus tadi, orang beriman bisa mengambil cara melihat, cara merasa, cara bertindak yang sinkron dengan tuntunan roh yang dari Allah itu: memberi kekuatan, bukan ketakutan; menumbuhkan cinta, bukan benci; dan memperkuat self-control, bukan semakin mengontrol orang lain. Anda dan saya boleh becermin darinya: apakah kata, pesan, tindakan kita itu, juga dalam masa sulit, lebih membawa kekuatan atau ketakutan dalam diri orang lain; apakah damai yang kita sodorkan itu sungguh membebaskan atau diam-diam menyimpan syarat yang berujung pada kepentingan sektarian?
Saya ingat tetangga yang ketika tahu tetangga lainnya terinfeksi kopit, reaksi spontannya berupa pertanyaan “Apa yang bisa kubuat supaya mereka bisa hidup selagi isolasi mandiri?” Itu contoh kecil perspektif hidup beriman, yang jelas absen dalam diri mereka yang takut atau paranoia karena hendak cari selamat sendiri, atau yang gemar berhoaks ria.
Ya Allah, mohon rahmat kekuatan cinta-Mu supaya damai yang kami wartakan sungguh membawa berkat bagi sesama. Amin.
PERINGATAN WAJIB S. TIMOTIUS DAN TITUS
Selasa Biasa III B/1
26 Januari 2021
Posting 2019: SuperVero
Posting 2018: Ketularan Cinta
Categories: Daily Reflection