Belakangan ini Anda mungkin juga mendapat kabar dari kenalan, kerabat, atau saudara yang mengalami kesulitan memperoleh pelayanan rumah sakit dan akhirnya meninggal tanpa bantuan medis. Sakitnya bukan karena virus covid, tetapi ikut jadi korban akibat orang-orang lain yang terkena covid, yang membuat ketersediaan kamar rumah sakit semakin sedikit. Kenyataan ini memang memilukan, memprihatinkan, bikin mak clĕkit. Belum lagi, dalam kondisi seperti ini, bukannya tiada rekaman peristiwa seperti panic buying, yang mungkin tak memilukan, tetapi memalukan. Panic buying memang biasanya dilekatkan pada tindakan ekonomi untuk mengantisipasi kelangkaan komoditi atau lonjakan harga. Motifnya bukan lagi kebutuhan, melainkan kecemasan, ketakutan, atau kelebayan dalam mengontrol situasi.
Pertanyaan saya: bisakah orang pada saat berpanic buying ria ini berdoa?🤭 Tentu tidak, karena kalau pada saat panik orang bisa berdoa, paniknya raib alias hengkang bin minggat. Tidak usahlah doa yang substansial, ritual saja barangkali sudah cukup untuk mengusir kepanikan. Cobalah sendiri saat panik di toko Anda bersujud atau membuat tanda salib dan mendaraskan doa Bapa Kami. Risikonya Anda dianggap sinting, tapi pada momen Anda bersujud atau mendaraskan doa tadi Anda terbebas dari kepanikan, dan mungkin terbebas pula panic buying karena barangnya sudah habis diambil orang lain.😂
Berarti panic praying itu contradictio (kontradiksio) in terminis ya, Rom?
Begitulah kira-kira, tetapi cuma saya taruh sebagai judul karena mirip-mirip dengan panic buying.
Panic buying boleh jadi dipraktikkan dalam ranah keagamaan ketika orang beragama hendak memonopoli kebenaran atau bahkan Allah. Namanya juga panik, sudah tak ada logika atau kewarasan lagi, dan orang hendak memonopoli Allah lewat agamanya sendiri!
Teks hari ini mengisahkan Guru dari Nazareth yang akhirnya mudik juga. Akan tetapi, teksnya sendiri tidak menyebutkan nama kampungnya. Dikatakan bahwa akhirnya ia kembali ke tempat asalnya, yang merujuk pada tradisi yang membesarkannya. Secara geografis, tempat asalnya ada di daerah pegunungan, yang terkungkung pada praktik keagamaan tradisional. Kiranya, untuk itulah Guru dari Nazareth mudik: bukan sekadar kangen atau kebiasaan tradisi, melainkan untuk membawa kebaruan dalam praktik keagamaan kepada orang-orang di kampungnya. Itu terlihat juga dari kedatangannya bersama para murid: untuk menunjukkan dimensi baru kekeluargaan. Bukan lagi kekerabatan darah dan perkawinan, melainkan relasi sosial yang bersumber pada Allah sendiri.
Dalam konteks itu jadi lebih jelas maksud kata ‘takjub’ dalam teks. Ini bukan takjub karena kekaguman terhadap khotbah Guru dari Nazareth, melainkan sensasi mak clĕkit dalam diri orang kampungnya yang sudah mapan dengan keagamaan tradisional. Panik karena paradigma tradisional mereka diutak-atik, orang-orang kampung itu kecewa dan panic buyingnya berupa framing bahwa Guru dari Nazareth itu hanyalah salah satu dari orang kampung mereka. Mereka hendak mengontrol Guru dari Nazareth supaya tunduk pada tradisi yang sudah-sudah.
Setiap orang beragama sepantasnya mencari cara beragama yang baru, bukan untuk berlomba-lomba memonopoli kebenaran, melainkan untuk membawa kebenaran dari Allah supaya sambung kepada semakin banyak kehidupan manusia. Hanya dengan begitu agama menjadi rahmat bagi semesta, bukan malah dengan mengungkung kebenaran pada agamanya sendiri.
Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami dapat menjadi pancaran kemuliaan-Mu bagi semesta. Amin.
HARI MINGGU BIASA XIV B/1
4 Juli 2021
Yeh 2,2-5
2Kor 12,7-10
Mrk 6,1-6
Posting 2015: No Faith, No Miracle
Categories: Daily Reflection