Ini curcol dari tempat saya mengajar dan dihajar. Dari tempat saya dihajar dulu deh. Tidak jelas sih siapa yang menghajar karena ini cuma perasaan saya. Saya sedang belajar mengerti bagaimana keadilan sosial dipahami dari perspektif Islam, dan segera muncul di kepala saya bahwa Islam itu tidak monolitik. Ada perbedaan doktrin dan ideologi yang memengaruhi bagaimana Sunni dan Syiah memandang hidup ini. Tidak berhenti di situ, dalam lingkaran Sunni pun ada beberapa mazhab yang memengaruhi bagaimana orang hidup. Bisa jadi antara mazhab yang satu dan lainnya ada hal yang bertentangan. Kalau sudah masuk hal-hal yang detail dan ada macam-macam versi begitu, prosesor di kepala saya panas.
Syukur, dalam berhadapan dengan aneka perbedaan itu, saya tidak bertanya mana yang benar, mana yang salah. Semua punya alasan masing-masing untuk mengatakan begini atau begitu juga sama-sama atas dasar syariat Islam. Barangkali alasan saya tidak kepo soal benar salah itu karena saya sedang melakukan close reading, bukan tahap interpretasi, apalagi evaluasi. Terlepas dari disiplin akademik itu, absennya kekepoan itu saya kira terutama karena pergumulan di tempat saya mengajar.
Saya mengajar di jurusan pendidikan bagi para calon guru agama (Katolik). Mengajar agama jelas tak sama dengan mengajar matematika, fisika, ekonomi, olah raga, bahasa atau kewarganegaraan. Banyak orang mengira ini adalah perkara teknis marketing atau kemasan agama. Semakin presentasinya menarik, semakin sukseslah pengajaran agamanya. Mereka lupa bahwa what is essential is invisible to the eye.
Lha piye jal mengajarkan yang invisible kalau bukan via teknik yang kelihatan, Rom?
Ya betul, memang teknik yang kelihatan itu seyogyanya eye-catching supaya sekurang-kurangnya orang tertarik untuk melihat, dan syukur-syukur money-catching juga.🤭 Akan tetapi, soal keagamaan adalah perkara cara hidup atau way of life. Dalam arti itu berlakulah ungkapan ‘tidak ada paksaan dalam beragama’. Yang penting ialah bahwa way of life itu memang sungguh jadi way of happiness bagi orang yang menghidupinya.
Dari situlah saya memahami teks bacaan hari ini: Guru dari Nazareth sedang mengajarkan kepada murid-muridnya soal way of life yang berlaku bagi semua orang beriman. Dalam teks bahasa Indonesia memang nuansa refleksifnya hilang. Hanya dituliskan bahwa Guru dari Nazareth memanggil kedua belas muridnya. Dalam bahasa Inggris kata kerja infinitifnya adalah to call to oneself. Ini adalah perkara undangan supaya objek datang mendekatkan dirinya kepada yang memanggil.
Poinnya: sebelum mereka diutus untuk menawarkan suatu way of life, mereka sendiri semestinya sudah menghidupi way of life itu. Sebelum berdakwah kepada orang lain, mereka mestilah berdakwah kepada diri mereka sendiri. Untuk itu, mereka diberi kuasa bukan untuk memaksa, mengalahkan, atau menundukkan orang lain, atau untuk memercikkan air suci mengusir setan gentayangan, melainkan untuk mengusir kekuatan-kekuatan tak murni dalam dunia. Apa itu? Ya yang membuat manusia mengalami dishumanisasi: dorongan tak terkontrol, kelekatan tak teratur, konsumerisme, keserakahan ala kapitalis kemaruk, ketidakadilan, perang, monopoli, dan sebagainya, yang membuat hidup lahir-batin orang jadi superfluous.
Tuhan, ajarilah kami untuk hidup seturut apa yang kami butuhkan untuk menampakkan kemuliaan-Mu, alih-alih kemuliaan kami sendiri. Amin.
HARI MINGGU BIASA XV B/1
11 Juli 2021
Am 7,12-15
Ef 1,3-14
Mrk 6,7-13
Posting 2105: Beriman Kok Rempong bin Lebay
Categories: Daily Reflection