A Brave New World

Sudah diindikasikan pada posting terdahulu bahwa tidaklah tepat jika perikop teks Injil hari ini bernuansa penggandaan roti sebagai mukjizat dalam arti peristiwa spektakuler menurut sensasi manusiawi. Ceritanya dituliskan sebanyak enam kali dalam Injil, dan ndelalahnya satu sama lainnya tidak sama. Entah soal berapa orang yang hadir, tempatnya di mana, jumlah roti, jumlah keranjang, dan seterusnya. Jelas, kan, ini bukan tulisan reporter majalah tentang suatu peristiwa. Enam cerita berbeda itu tidak hendak meliput satu kejadian, tetapi satu pesan. Dengan begitu, detail cerita itu perlu diterima dengan bingkai simbolik juga.

Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa enam versi cerita itu hendak menanggapi satu persoalan: gimana caranya menghadapi problem orang-orang yang kelaparan? Ini bukan kelaparan rohani, melainkan kelaparan biologis [nota bene, ini saya ngetiknya juga sedang dalam kondisi lapar, wkwkwkwk]. Hari ini Guru dari Nazareth hendak mengajari Anda untuk membuat suatu keajaiban: menghapuskan kelaparan dari dunia ini [padahal ya tinggal makan aja toh ya]. Tentu saja, kelaparan di sini tak hanya menyangkut perut biologis, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lain yang membuat perut biologis itu bisa menyokong kemanusiaan seseorang yang utuh (sandang pangan papan dan seterusnya).

Untuk memecahkan problem kelaparan itu, Guru dari Nazareth berangkat dari cara berpikir orang biasa: logika pasar. Memang dibutuhkan pasar supaya tukar menukar pemenuhan kebutuhan orang terjadi. Persoalannya ialah bahwa tukar-menukar pemenuhan kebutuhan itu bisa diatur secara tidak adil, yang satu memanipulasi yang lain, dengan mark up, dengan hak paten, atau apa lagi sedemikian sehingga orang tidak lagi bertransaksi berdasarkan kebutuhan, tetapi kepentingan. Alhasil, yang kuatlah yang mengontrol segalanya, dan pemecahan problem kelaparan hanya sebatas tindakan karitatif lewat derma. Betul, derma dibutuhkan, tetapi hanya untuk keadaan darurat sementara. Kalau terus-terusan mengandalkan derma, problem kelaparan tadi tak tersentuh, problem ketidakadilan meraja karena, asumsinya, supaya bisa memberi derma, orang mesti ngumpulin duit dulu biar bisa dicipratkan ke mereka yang tak bisa ngumpulin duit, kan? Padahal, persoalannya justru ada pada bagaimana orang ngumpulin duit tadi.

Salah seorang murid Sang Guru ini melihat peluang tapi membatalkannya sendiri: “Di sini ada anak yang punya lima roti dan dua ikan, tapi apa artinya untuk sebegitu banyak orang?” Berbagi ya baik-baik aja, tapi apa hasilnya untuk kelaparan yang bersifat pandemik? Dengan cara berpikir begitu, orang tidak membuat keajaiban!

Saran Guru dari Nazareth gampang-gampang susah. Dunia baru yang disodorkannya tidak seperti dunia yang dihidupi bahkan para muridnya tadi: logika pasar, individualisme, hukum rimba, dan sejenisnya. Asumsi Sang Guru ialah bahwa dunia baru itu dibangun oleh orang-orang yang merdeka. Selama orang diperbudak oleh semangat kapitalis, gelojoh konsumeris, perspektif egois, atau hasrat posesif, dunia baru itu makin jauh. Tanpa manusia merdeka, keajaiban tak terengkuh.

Anda tahu Dame Sarah Gilbert yang mendapat standing ovation pada pembukaan turnamen tenis Wimbledon. Ia berpartisipasi untuk menemukan vaksin Covid-19 dan mengabaikan hak paten padanya sehingga biaya produksi tak membengkak. Anda mungkin tahu tetangga kamar saya yang membuka shelter gratis untuk para isoman yang kesulitan mendapatkan tempat di rumah sakit atau shelter yang dibuat pemerintah. Setiap hari saya mendapat update sumbangan yang datang dari banyak pihak. Dalam arti tertentu, hanya orang-orang merdeka beginilah yang bisa bikin mukjizat.

Sementara itu, rasa gemas saya menjadi-jadi ketika terdengar kabar bahwa pemerintah pusat sudah mengucurkan dana dan mandheg di pemerintah daerah! Jika yang merdeka itu hanya segelintir orang, dunia baru itu jauh, ngaluk-aluk. Orang merdeka tahu benar bahwa hidup ini milik Allah dan kepada-Nya seluruh jerih payah dia upayakan. Mentalitas budak tak dapat menampung kemerdekaan dunia baru seperti itu karena hidupnya dipenuhi aneka ketakutan dan kekhawatiran.

Tuhan, mohon rahmat kemerdekaan supaya kami tak diperbudak oleh kesempitan budi dan defisit hati kami. Amin.


HARI MINGGU BIASA XVII B/1
25 Juli 2021

2Raj 4,42-44
Ef 4,1-6
Yoh 6,1-15

Posting 2015: Pasukan Nasi Bungkus