Berapa banyak orang beragama yang menganggap Allah itu memberi harapan palsu? Entah berapa banyak, saya harap Anda tidak termasuk dalam bilangan itu. Seperti sudah saya sampaikan, entah di mana, tidak ada pribadi yang memberi harapan palsu; yang ada hanyalah mereka yang membangun harapan palsu [dan kemudian menyalahkan orang lain sebagai pemberi harapan palsu]. Keyakinan ini saya dasarkan pada teks bacaan hari ini: orang berduyun-duyun mengikuti Guru dari Nazareth yang telah membuat banyak mukjizat dan hari itu membuat mereka semua bisa makan di tengah-tengah kelaparan mereka.
Tentu ini narasi iman, bukan narasi politik; tetapi jelaslah kalau kemudian mereka terus menerus mengikuti Guru dari Nazareth itu tujuannya cuma satu: biar perut mereka terjamin, biar hidup biologis ini berlangsung nyaman, dan karena itu mereka mengelu-elukan Sang Guru itu sebagai capres! Guru dari Nazareth, menyingkir dari mereka karena perbedaan agenda. Akan tetapi, baiklah kita simak pesannya sebelum menyingkir dari khalayak yang menginginkannya jadi pemimpin mereka.
Nasihatnya sebetulnya sangat menohok, tetapi perkara tohok menohok kan bergantung pada sensitivitas yang ditohok ya?🤭 Intinya, Guru dari Nazareth ini bilang ke orang banyak: kamu itu mencari aku supaya aku memenuhi keinginan-keinginan egoismu, kan? Tidak dipakai istilah do ut des (aku memberi supaya kamu memberi), tetapi begitulah kiranya yang dimaksudkan: ketimbalbalikan. Guru dari Nazareth mengkritik prinsip timbal balik macam begini karena dengan begitu orang membangun harapan palsu. Maka, pesannya jelas: bekerjalah bukan demi makanan yang bisa binasa, melainkan demi makanan yang awet mengantar orang pada keabadian hidup.
Tentu muncul pertanyaan: gimana caranya orang bekerja demi makanan yang awet itu? Lha ya berlaku sebagaimana dikehendaki atau diperintahkan Allah. Ya, tapi itu gimana? Gak jelas!
“Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaknya supaya kamu percaya kepada dia yang telah diutus Allah.”
Tambah gak jelas!😅
Ayat seperti itu oleh orang Kristen/Katolik akan segera dimengerti sebagai kepercayaan kepada “Tuhan Yesus”, suatu frase yang bisa bikin orang Islam dan Yahudi bereaksi entah di dalam hati atau di luar hati.
Saya termasuk orang yang dikasih label Kristen/Katolik, tetapi ayat tadi sama sekali tidak saya tangkap sebagai pernyataan supaya semua orang percaya kepada “Tuhan Yesus”! Kenapa? Karena itu juga makin gak jelas. Piye jal percaya kepada Tuhan Yesus?
Biasanya saya membedakan antara kepercayaan dan iman. Akan tetapi, di sini tidak saya bedakan karena “percaya kepada dia yang telah diutus Allah” itu identik dengan tindakan iman.
Begini saya memahaminya. Diberitakan sebagian orang tak percaya adanya virus kopit, dan baru percaya setelah dia mesti memakai ventilator. Sebagian darinya mungkin sampai menghembuskan nafas terakhir pun belum percaya karena lebih percaya kepada Allah, katanya. Ini adalah tipe orang yang berpikiran bahwa Allah itu memecahkan segala persoalan manusia dengan kuasa-Nya, dengan mukjizat-Nya, dengan kebesaran-Nya, dan seterusnya. Maka, berteguhlah pada iman kepada Allah karena mati hidup itu di tangan Tuhan.
Saya tidak punya masalah dengan keyakinan itu, tetapi persoalan saya bukan di tangan siapa mati hidup seseorang, melainkan bagaimana orang yang berkeyakinan seperti itu mau membangun hidupnya!
Dunia baru yang disebut surga itu bukanlah dunia yang jatuh dari langit dengan aneka mukjizatnya, melainkan dunia yang dibangun, dikonstruksi seturut usulan yang disodorkan utusan Allah itu. Orang boleh saja berdebat mengenai siapa utusan Allah itu, tetapi saya tak tertarik mengikutinya: siapa atau apa saja yang menunjukkan jalan kepada Allah, itulah utusan Allah. Dari mana saya tahu? Dengan kriteria konsolasi–desolasi, di antaranya. Jika orang menapaki pilihan dalam kebahagiaan lahir batin, menghidupi keadilan sosial, kiranya ia ada di jalan menuju Allah.
Ini tidak untuk mengatakan bahwa untuk itu orang mesti mati disalib atau jadi martir. Keliru! Itu hanyalah konsekuensi pilihan untuk menjadi utusan Allah. Gambaran sederhana dikisahkan minggu lalu: seorang anak yang memberikan lima roti dan dua ikan kepada Guru dari Nazareth demi memberi makan ribuan orang! Sekali lagi, ini bukan narasi politik atau dunia dalam berita, melainkan narasi iman yang mengundang siapa saja untuk keluar dari egoismenya dan hidup dalam ketulusan demi membangun dunia baru yang boleh disebut surga itu.
Surga tidak jatuh dari langit, tetapi dibangun dari bawah, sejauh orang tidak berkubang dalam prinsip do ut des. Tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari kungkungan prinsip itu selain jalan cinta, cinta kepada Allah dan sesama. Ini tidak gampang karena mengandaikan tanpa syarat.
Tuhan, ajarilah kami senantiasa untuk mencintai-Mu tanpa syarat dalam hidup kami yang receh ini. Amin.
HARI MINGGU BIASA XVIII B/1
1 Agustus 2021
Kel 16,2-4.12-15
Ef 4,17.20-24
Yoh 6,24-35
Posting 2015: How Big Is Your God?
Categories: Daily Reflection