Religious Clown

Sejak awal minggu kemarin beberapa kali disinggung perkara aktor/aktris sebagai pribadi yang mesti menampilkan sesuatu yang lain dari apa yang senyatanya ada di hati. Teks bacaan ketiga pada hari ini memberi contoh tentang pilihan gaya hidup akibat kemunafikan itu. Silakan baca sendiri ya teksnya. Tautannya sudah saya sediakan di bawah.

Saya hanya ingin menyodorkan tulisan Gus Dur God Needs No Defense, yang saya kira bisa memberi bingkai untuk teks bacaan hari ini juga. Tulisan Gus Dur ini sejatinya dulu menyinggung hukum penistaan agama di Pakistan. Menurut Gus Dur, alih-alih menjadi sarana untuk membela Allah, membela Islam atau Nabi Muhammad, hukum macam itu cuma memuaskan worldly feelings berkenaan dengan agenda politik, yang sewaktu-waktu bisa mengancam bukan hanya kelompok minoritas religius, melainkan juga hak kebebasan muslim mainstream untuk berpendapat mengenai agama Islam sendiri.

Menurut Gus Dur, sejatinya dalam Alquran disiratkan makna syariah sebagai jalan, the path to God [lah malah promosi versodio😅. Ya enggaklah, tagline versodio kan cuma a pathway to God, yang bikin jadi the pathway ya pembacanya sendiri]. Jalan kepada Allah. Nah, makna syariah seturut Alquran itu sesungguhnya tidak mengacu pada kodifikasi hukum Islam, yang baru muncul beberapa abad setelah Nabi Muhammad wafat. Itu berarti, pentinglah membedakan Alquran dan syariah: meskipun ide syariah berasal dari Alquran yang ilahi, hukum Islam tetaplah bikinan manusia yang bergantung pada tafsir manusia yang berarti juga bisa mengalami revisi seturut konteks hidupnya. Dengan kata lain, syariah, jika dipahami secara benar, mengungkapkan nilai-nilai universal, tetapi hukum Islam adalah produk ijtihad yang mempertimbangkan situasi dan kondisi hidup pada ruang waktu tertentu. Sepanjang sejarah Islam, banyak ahli hukum Islam yang juga dipengaruhi tradisi tasawuf, mistik Islam, yang jelas meyakini perlunya keseimbangan antara letter dan spirit dari hukum yang dibuat.

Teringatkah Anda pada kata-kata Paulus (2Kor 3,6): sebab hukum yang tertulis (letter) mematikan, sedangkan Roh (spirit) menghidupkan? Itu adalah tegangan pilihan orang beragama, yang sayangnya, mungkin lebih banyak yang terjerembab pada hukum tertulis daripada jatuh dalam rengkuhan Roh, yang menghubungkan hukum tertulis tadi dengan konteks hidupnya. Bisa dimengerti, dalam hal ini, tafsir literal lebih mudah daripada yang liberal. Kenapa? Karena sudah ada pakemnya, dari dulu ya biasanya begitu, di tempat asalnya ya gitu kok, dan seterusnya. Tafsir literal ini bisa berujung pada pribadi-pribadi yang dikecam Guru dari Nazareth: badut-badut agama.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati supaya kami dapat becermin dari para badut politik-agama untuk menemukan jalan sesungguhnya kepada-Mu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXII B/1
29 Agustus 2021

Ul 4,1-2.6-8
Yak 1,17-18.21b-22.27
Mrk 7,1-8.14-15.21-2

Posting 2015: Made in Heaven