Open Sesame

Minggu lalu saya memberi judul komentar saya: badut agama, dan sebetulnya itu karena saya ingat cerita tetangga saya yang pernah mendengar komentar seorang anak ketika ikut beribadat di sebuah gereja Katolik. Anak ini begitu antusias di awal misa itu sehingga bergeseer ke pinggir bangku di tengah gereja untuk menantikan rombongan petugas ibadat berarak menuju altar. Ketika orang tuanya menariknya supaya kembali ke tengah bangku, ia bertahan. “Nanti, aku mau lihat badutnya dulu!” Setelah petugas ibadat terakhir melewati anak itu, barulah si anak bergeser ke tempat orang tuanya di tengah bangku. Anda tahu siapa badut yang dinantikan anak itu? Betul, sosok yang berjalan di ujung barisan setelah para pastor: uskup, dengan tongkat di tangan dan mitra di kepalanya. Semoga hanya karena pakaian ibadatnya ia dianggap badut oleh anak itu.😛

Kalau badut biasanya diundang untuk mengubah suasana hati orang lain supaya mengalami kegembiraan, apakah badut agama juga bisa menjalankan fungsi yang sama?
Saya tidak yakin. Mungkin malah sebaliknya, dan itu mengapa Guru dari Nazareth mengkritik pemuka agama Yahudi sebagai ‘badut’: mereka mengubah tampilan luar, tetapi tidak hati mereka sendiri, yang tetap tertutup pada Sabda Allah.
Loh, tertutup pada Sabda Allah gimana toh, Rom, wong mereka itu baca Kitab Suci, bahkan mungkin hafal seluruhnya di luar kepala?
Betul, tetapi seperti juga sudah disinggung minggu lalu, Kitab Suci yang mereka terima hanyalah letter, spiritnya mereka kebaskan. Yang mematikan mereka terima, yang menghidupkan mereka tolak. Ironis, ye kan?
Akan tetapi, bukankah hidup kita ini diwarnai dengan begitu banyak ironi?

Belum lama ini di suatu tempat di negeri ini, terjadi pembakaran tempat ibadat kelompok yang dianggap sesat. Kelompok sesat ini, setahu saya, sudah ada jauh hari sebelum Indonesia merdeka; dan mereka ini ikut berjuang juga untuk kemerdekaan RI. Apa boleh buat, keyakinan mereka berbeda dan bertentangan dengan keyakinan mainstream, lalu diupayakanlah usaha-usaha untuk menindas mereka. Jadinya, kaum yang dianggap sesat ini serba salah, dan nasib mereka selalu jadi tanda tanya untuk hukum negeri ini mengenai kebebasan beragama dan sebagainya.

Memang susah kalau mendasarkan hidup ini dengan kategori benar salah, apalagi dalam hidup keagamaan. Benar salah menurut siapa, dengan tolok ukur apa, siapa yang bikin tolok ukurnya? Ujung-ujungnya bisa jadi relasi kekuasaan, yang tidak menyentuh hati, tetapi mengobarkan benci; lupa bahwa hidup ini milik Yang Ilahi. Iya sih, yang terakhir ini orang selalu ingat di bibir, tetapi Yang Ilahi sendiri hendak dikooptasi. Ini tak menarik hati.

Perjalanan Guru dari Nazareth yang disiratkan dalam teks bacaan hari ini, berikut penyembuhan terhadap orang tuli nan gagap, menjadi simbol intervensi Allah dalam hidup mereka, juga yang oleh kelompok mainstream dianggap sesat atau kafir. Di situ, beliau tidak mengerahkan massa untuk menyalakan api, tetapi membiarkan Allah sendiri merasuk dalam hati. Ini kan bergantung juga pada orangnya sendiri: mau terbuka pada intervensi Allah atau mengungkung diri pada idealismenya sendiri. Yang pertama berdampak inklusif karena orang sadar kekuasaan Allah yang bisa mencari aneka jalur untuk menjumpai umat-Nya. Yang kedua jelas eksklusif. Semua mau ditelannya sendiri tanpa mau mendengarkan dulu dan malah jadi gagap.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati pada Roh yang menggerakkan Sabda-Mu dalam hidup kami. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXIII B/1
Hari Minggu Kitab Suci Nasional
5 September 2021

Yes 35,4-7a
Yak 2,1-5
Mrk 7,31-37

Posting 2015: Mari Belajar Omong