Seminggu kemarin jadwal harian saya penuh dengan penataran dari pagi sampai sore, komplet dengan tugas dan kuis yang mesti dijawab. Intermezzo: saya suka sekali dengan kuisnya, karena kalau saya serius memikirkan jawabannya, saya dapat skor 4 atau bahkan 2, tetapi kalau saya menjawabnya tanpa serius memikirkan jawabannya, saya malah dapat skor 8 atau bahkan 10.😅
Salah satu materi yang diberikan ialah perkara pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Yang pertama memerlukan alat ukur dan umumnya melibatkan angka. Kuantitatif sifatnya. Yang kedua melibatkan suatu keputusan apakah capaian alat ukur tadi merupakan suatu capaian yang baik atau buruk. Ini bersifat kualitatif. Yang terakhir adalah gabungan pengukuran dan penilaian. Dari hasil evaluasi itulah orang dapat menentukan langkah selanjutnya.
Teks bacaan hari ini menarasikan bagaimana Guru dari Nazareth mengevaluasi murid-muridnya. Tahukah Anda apa langkah selanjutnya yang diambil Guru dari Nazareth?
Betul sekali, mulai lagi dari nol! Sang Guru ini kembali menanting murid-muridnya mengenai makna Mesias, yang selama itu sudah dilekatkan pada doktrin agama (Yahudi).
Mengapa mulai dari nol? Bukankah jawaban Petrus itu betul?
Iya betul, tetapi dasarnya cuma pengukuran: kata orang begini begitu. Dibandingkan dengan kata orang lain. Jawaban Petrus sendiri dibandingkan dengan apa kata Kitab Suci. Nah, sudah dibandingkan Kitab Suci kok ya bisa keliru ya, Rom?
Ya bisa banget karena yang menafsirkan Kitab Suci itu manusia juga dan manusia penafsir mana yang sempurna sih? Pasti ada keterbatasan karena konteks ruang-waktunya yang terbatas juga.
Yang ditanyakan Guru dari Nazareth kepada murid-muridnya, kepada Anda sekalian, bukanlah semata jajak pendapat dan jawaban mayoritas adalah kebenarannya. Tidak ada kamusnya agama mayoritas adalah pemegang kebenaran mutlak. Kalau betul begitu, semestinya sejak kemunculan kekaisaran Romawi dulu, agama yang mereka formalkan sudah meraja lela ke seluruh penjuru bumi dan tak ada agama lain di muka bumi ini, bukan?
Pertanyaan Guru dari Nazareth adalah perkara bagaimana orang melibatkan dirinya dalam hidup yang sementara ini. Itu tak jauh berbeda dari perkara bagaimana orang menghidupi relasi cintanya; ia mesti menghidupi nilai-nilai yang disodorkan sosok yang dicintainya. Inilah yang rupanya belum juga dipahami murid-murid Guru dari Nazareth sehingga beliau mesti mengulang pelajaran dari nol: bahwa mengikuti Mesias itu bukan perkara apa kata banyak orang, melainkan perkara menghidupi kenyataan bahwa tidak ada makna hidup yang bisa dipetik tanpa penderitaan, kehilangan, duka, bahkan kematian. Mengikuti Mesias ini tidak klop dengan kemenangan yang diperoleh dengan logika kekuasaan, yang terukur secara kuantitatif: 80%, 100%, 50% plus satu, dan seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat pengertian untuk menghayati kebenaran-Mu dalam jerih payah dan kesulitan hidup kami. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXIV B/1
12 September 2021
Yes 50,5-9a
Yak 2,14-18
Mrk 8,27-35
Posting 2015: Emangnya Allah Mikir?
Categories: Daily Reflection