Dalam komentar tahun lalu saya mengindikasikan bahwa semakin egosentris orientasi hirarki kepentingan orang, semakin ia merepresentasikan hamba ketiga dalam perumpamaan teks bacaan hari ini. Ini sosok hamba yang dikritik habis tuannya dan dimiskinkan, bahkan meskipun ia bukan koruptor! Kalau di negeri ini, barangkali koruptor bukannya dimiskinkan, melainkan diringankan, apalagi kalau punya stok perundung. Soalnya, dengan dirundung, koruptor sudah menderita.
Tahun ini saya menunjukkan hal yang berlawanan: semakin egosentris hirarki kepentingan orang, semakin ia mampu bekerja seperti hamba pertama dan kedua dalam melipatgandakan sumber daya.
Lah, teksnya sama, ceritanya sama, kok komentarnya bisa bertolak belakang toh, Rom?
Iya, kok bisa ya? Namanya juga paradoks. Untuk memahaminya, mesti ada parameter yang diganti. Nah, apa itu parameternya, silakan cari sendiri ya. Tugas saya kan cuma untuk membingungkan Anda.😅
Saya tidak berminat membuat survei mengenai asumsi orang beragama, apakah mereka hidup bagi diri mereka sendiri atau bagi Allah. Konkretnya, kalau mereka itu menjalankan ritual, beribadat, melaksanakan kewajiban agama, itu mereka tujukan bagi Allah atau bagi mereka sendiri. Saya langsung ambil jalan pintas sotoy aja ya: sebagian (mungkin besar) dari mereka menganggap diri mereka sedang menyenangkan Allah, memuji Allah, dan seterusnya.
Nah, ini selagi marak kasus hukum penistaan agama, hal serupa bisa dilontarkan: apakah betul-betul ada penistaan agama, penistaan Tuhan, sehingga dibutuhkan suatu hukum penistaan? Ataukah yang sebetulnya ada hanyalah penistaan ideologi tentang agama, tentang Tuhan, dan seterusnya?
Saya lompat lagi ke sosok yang diperingati hari ini: Santo Augustinus. Seperti uskup yang belum lama ini saya ceritakan, beliau berujar dalam refleksinya: terlambat aku mencintai-Mu. Apakah memang betul ia terlambat mencintai Allah? Menurut saya, itu adalah ungkapan penyesalan: kenapa gak dari dulu aku mencintai Allah dan berkanjang dalam nikmat-Nya? Dengan demikian, kalau Anda beragama, sesungguhnya itu bukan perkara Anda mau menyenangkan Allah, melainkan soal mencari jalan supaya hidup Anda berada dalam nikmat Allah. Siapa yang membutuhkan nikmat Allah itu? Tuhankah? Ya Andalah!
Persoalannya, perhatian egosentris tadi njuk hendak dimakan sendiri, seakan-akan orang lain tidak punya kepentingan yang sama karena agamanya beda. Jadilah dunia label dimainkan seakan-akan mempermainkan nikmat Allah; padahal yang dipermainkan ya labelnya itu.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya dapat mengalami nikmat-Mu dalam hidup receh kami. Amin.
SABTU BIASA XXI B/1
Pw S. Augustinus
28 Agustus 2021
Sabtu Biasa XXI C/1 2019: Monumen Emas
Sabtu Biasa XXI B/2 2018: Jojo Aku Padamu
Sabtu Biasa XXI A/1 2017: Relasi Sehat
Sabtu Biasa XXI A/2 2014: Kitorang Bodoh Semua, Flo
Categories: Daily Reflection