The Artist

Anda mungkin saja tidak terkejut mendapat info mengenai artis yang satu married sama mantan suami artis lain, selebritas anu reunian dengan pesohor lain yang adalah mantan suaminya, tokoh anu married (dan cerai) puluhan kali, dan sejenisnya. Saya sendiri biasa nonton drama mandarin yang menggambarkan kehidupan istana berikut intrik-intriknya; konon ada kaisar dengan ribuan selir sehingga masuk akallah kalau salah satu selir baru bisa ketemu kaisar setelah tiga atau empat tahun. Akibatnya, juga tak mengherankan, bahwa selir yang satu berselingkuh dengan putra selir senior atau penjaga istana, atau entah siapa lagi.🤭

Mungkin, hilangnya rasa heran menandai adanya problem: menormalkan yang semula tak dianggap normal, menyetujui hal yang tadinya tak disetujui. Padahal, “tidak heran” bukanlah sinonim “menyetujui”. Curcol OOT: saya tidak lagi heran bahwa pengendara mobil belakangan ini gemar memainkan lampu hazzard di perempatan jalan, tetapi, ini ciyus ya, tolong beritahu driver Anda supaya tidak menyalakan lampu hazzard di persimpangan jalan kecuali kendaraannya ada dalam bahaya. Kalau ternyata kendaraannya baik-baik saja dan lampu hazzard (yang artinya adalah bahaya) dinyalakan, itu malah bikin bahaya terutama dengan pengendara dari arah kiri Anda yang hendak bergerak ke arah kedatangan Anda. Pengendara itu tahunya Anda hendak berbelok kiri alias ke arah kedatangannya sehingga dia bisa tenang berbelok ke arah kedatangan Anda. Kalau jebulnya driver Anda tidak berhenti (karena hendak jalan lurus, tentu posisinya lebih menang daripada kendaraan yang hendak berbelok), bukankah bisa terjadi tabrakan?
Tapi mungkin orang maunya belajar dari tabrakan sih karena, katanya, praktik lebih berguna daripada teori.🤭

Kembali ke topik: begitulah media massa (komersial terutama) tanpa disadari mendidik audiensnya. Artis-artis dengan santuynya mengumbar hidup privatnya ke publik: soal rumah tangganya yang hancurlah, soal ketemu jodoh yang sama-sama sukalah, soal mahar ini itu, dan sebagainya. Diam-diam, media massa mengajarkan kepada publik bahwa, misalnya, yang penting ialah suka sama suka. Kalau di tengah jalan ada hal yang tidak menyukakan, ajukanlah pasal KDRT, carilah pasangan lain, dan begitu seterusnya. Celakanya, konten media massa seperti itu bisa menempatkan audiens sebagai konsumen artis dan dari artis itulah orang belajar, termasuk untuk meniru prinsip ‘suka sama suka’ tadi, seakan-akan itulah prinsip terpenting dalam hidup yang mahaluas ini.

Saya mengundang Anda untuk belajar dari The Artist, artis sesungguhnya, yang mengadakan hidup, yang digambarkan oleh Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini. Orang Farisi, yang tentu tahu bahwa prinsip ‘suka sama suka’ bukanlah prinsip tertinggi, datang kepadanya untuk mencobai dengan pertanyaan: bolehkah suami menceraikan istrinya?
Guru dari Nazareth bertanya balik berkenaan dengan yang legal moral ini: lha Nabi Musa itu menyuruh kita gimana?
Nah, saya tak mengerti sama sekali bahasa Aram, tetapi saya curiga terjemahan bahasa Indonesia terhadap perintah Musa itu sudah bias. Dalam Kitab Ulangan memang dituliskan begini: Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu. (Ul 24,1-4 ITB)

Tidak ada pernyataan Musa bahwa ia mengizinkan perceraian. Yang ditulis di situ adalah prosedur jika orang bercerai [dan tak bisa balikan lagi], tetapi bukan perizinan perceraian! Akan tetapi, begitulah jawaban orang Farisi yang hanya berpikir legal, formal: Musa mengizinkan cerai dengan membuat surat! Tampaknya Musa memberi kelonggaran karena umat Israel tak senantiasa sanggup menghidupi monogami; dan dari kelonggaran itu orang jadi beranggapan bahwa poligami itu fine-fine aja.

Guru dari Nazareth tidak sedang omong perceraian, tetapi mengundang audiensnya untuk belajar dari The Artist. Bukan cuma orang Farisi, bahkan murid-muridnya sendiri tak paham akan undangan ini sehingga setelah berwacana dengan orang Farisi itu mereka masih membahasnya dengan Sang Guru di tempat singgah mereka. Menariknya, wacana itu ditutup dengan menempatkan posisi penting anak-anak kecil: juga dalam hidup perkawinan, Anda perlu menyambutnya sebagai Kerajaan Allah seperti anak kecil menyambutnya.
Maksudnya? Anak kecil tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, senantiasa mengandalkan yang datang dari orang tua atau orang lain sebagai rahmat, sebagai gratia (bacanya gratsia ya, Pak), atau grace. Itulah yang tadi saya curigai sebagai bias terjemahan teks Indonesia: menyukai, tidak cinta lagi.

Rahmat itu bisa menyukakan, bisa juga tidak menyukakan, tetapi ujungnya senantiasa mempromosikan kemanusiaan yang utuh. Tak mengherankan, dalam teks bacaan pertama dikisahkan bagaimana Sang Artis memandang keutuhan manusia sebagai orientasi dasar. Setelah sekian waktu penciptaan Allah selalu berkomentar bahwa ciptaannya baik, sekarang Dia melihat tidaklah baik manusia itu hidup soliter. Maka, diperlukan makhluk berbeda yang bisa membantunya mencapai keutuhan hidup. Nah, celakanya lagi, keutuhan hidup ini oleh para konsumen artis akan segera direduksi sebagai keutuhan genital konyugal marital dan tal3 lainnya.

Padahal, keutuhan ini adalah perkara seperti disodorkan Guru dari Nazareth tadi: menyambut hidup sebagai rahmat, juga kalau hidup itu adalah hidup perkawinan. Aneka macam argumentasi manusiawi bisa dibikin untuk membenarkan polah tingkahnya berkenaan dengan hidup perkawinan, entah monogami atau poligami, tetapi seluruh argumentasi itu tak ada artinya jika mengabaikan pelajaran dari Sang Artis. Saya sepakat dengan resep tetangga jauh saya untuk hidup bahagia: tempatkanlah hidup dalam imaji Sang Artis dengan kepercayaan penuh kepada-Nya, bukan pada tetek bengek curcol artis yang mengumbar hiruk pikuk hidupnya sebagai komoditi dunia hiburan; mungkin menghibur, tapi tak memberi konsolasi.

Tuhan, ajarilah kami senantiasa mengandalkan rahmat-Mu untuk menghargai hidup. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXVII B/1
3 Oktober 2021

Kej 2,18-24
Ibr 2,9-11
Mrk 10,2-16

Posting 2015: Cinta Mbelgedhes