Apa yang Anda lakukan untuk memohon sesuatu dari orang lain supaya dikabulkan? Masih menginjak-injak bumi, berguling-guling seperti anak-anak atau malah berbantal-guling?
Tokoh orang kaya yang diceritakan dalam teks hari ini bertelut, berlutut di hadapan Guru dari Nazareth, bukan untuk menghormati atau menyembahnya, melainkan untuk menunjukkan betapa hebatnya perkara yang dihadapinya. Kata tetangga saya yang ahli kitab suci, cuma ada dua sosok yang berperilaku demikian: (1) mereka yang kerasukan roh jahat sehingga perilaku mereka jadi tak manusiawi (Mrk 5,1-21), dan (2) orang sakit kusta yang mengenakan pakaian tanda kenajisan dirinya (Mrk 1,39-45). Itu seakan menunjukkan bahwa orang kaya ini kerasukan roh yang menajiskan dirinya dan dia sendiri tak sanggup membebaskan dirinya dari kungkungan kekuatan dehumanisasi, yang membuatnya jadi asosial. Bisa dikatakan ini juga adalah penyakit.
Akan tetapi, rupanya ini bukan penyakit fisik yang bisa dicarikan obat tradisional atau modern, juga bukan melulu penyakit psikologis yang bisa ditangani psikolog atau psikiater. Orang kaya ini (yang sedikit banyak adalah simbol Anda dan saya) menderita kesakitan batin yang berasal dari dimensi lain. Entah bagaimana Anda menyebut dimensi lain itu, pokoknya bahkan jika seluruh hirarki kebutuhan seturut teori Abraham Maslow terpenuhi, orang tetap saja masih belum dapat merasa puas dalam hidupnya.
Lah, itu berarti kebutuhannya belum benar-benar terpenuhi, Rom.🤣
Nah, justru modalitas itulah yang dipersoalkan di sini. Orang kaya itu datang kepada Guru dari Nazareth karena ia ingin mendapatkan apa yang ‘benar-benar’ itu, yang membuat pemenuhan kebutuhannya tak lagi bersifat tak terbatas.
Barangkali orang kaya ini juga sudah datang ke pemuka agama dan mendapat saran untuk banyak beribadat dan beramal. Bisa jadi saran itu pun dipenuhinya karena teks sendiri menyebutkan bahwa orang kaya ini bahkan sudah melaksanakan seluruh perintah agama sejak masa mudanya. Akan tetapi, toh penyakit interior itu tetap diidapnya sehingga bahkan dengan dirinya sendiri pun ia belum kerasan.
Menariknya, pertanyaan yang disodorkannya kepada Guru dari Nazareth bukanlah pertanyaan umum yang berlaku untuk seluruh umat manusia,”Apa yang harus diperbuat orang demi hidup kekal?” Orang kaya itu menyodorkan pertanyaan yang sangat personal,”Apa yang harus kuperbuat demi hidup kekal?” Artinya, orang lain bisa jadi melakukan satu atau dua hal, tetapi aku sendiri tidak harus melakukan yang diperbuat orang lain.
Celakanya, Guru dari Nazareth itu terlalu lugas untuk menjawab pertanyaan orang kaya ini dengan menunjukkan sumber penyakitnya: attachment terhadap kepemilikannya. Orang kaya itu, yang punya apa saja yang dibutuhkannya, tak tersembuhkan. Alih-alih mengikuti Guru dari Nazareth, ia pergi dengan sedih hati; tidak menemukan harmoni kehidupan, tidak menggapai hidup kekal yang sesungguhnya didambakan.
Penyakit orang kaya ini menimpa orang beragama lainnya, yang alih-alih mencari hidup kekal, malah mencari sosok supranatural yang bisa memenuhi kebutuhan naturalnya. Sikap serupa disodorkan ateisme yang memandang kesia-siaan iman agama karena paham allahnya tak lebih dari penutup lubang rasionalitas manusia. Entah bagi orang beragama atau tidak, rupanya attachment terhadap kepemilikan membuatnya sulit mengalami harmonisasi dengan dirinya sendiri dan dunia fana ini. Lawan attachment adalah detachment: bukan bahwa orang tak boleh memiliki kekayaan atau hal lain, melainkan kekayaan atau hal lain itu tak boleh menguasainya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk meletakkan seluruh kekayaan kami dalam genggaman-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXVIII B/1
10 Oktober 2021
Keb 7,7-11
Ibr 4,12-13
Mrk 10,17-30
Categories: Daily Reflection