Salam dari Jijay

Entah Guru dari Nazareth ini makhluk macam mana ya: sejak tampil secara publik, blio ini seperti sudah membawa DNA konflik dengan para pemuka agama saat itu: para imam, kaum Farisi, dan ahli-ahli Kitab Suci. Anda tahu dong, dalam masyarakat yang sangat klerikal, apa jadinya kalau seseorang melawan atau bahkan sekadar mengkritik pemuka agama?
Dia bakal dituduh menista agama, kriminalisasi pemuka agama, dan sejenisnya; dan apa yang dikatakan oleh pemuka agama akan jauh lebih diterima daripada yang disampaikan pengkritiknya. 
Tidak mengherankan, pada suatu kesempatan, para pemuka agama itu menyatakan secara publik bahwa Guru dari Nazareth ini kerasukan Beelzebul. Sang Guru sendiri menyebut sebagian pemuka agama itu sebagai pencuri dan perampok. Nah lo… gimana ini?

Teks bacaan hari ini bisa diletakkan dalam konteks perseteruan Guru dari Nazareth dan para tokoh agama pada hari-hari terakhirnya di Yerusalem, setelah Sang Guru mengusir para pebisnis di pelataran Bait Allah. Sasaran kritik Guru dari Nazareth dalam teks hari ini adalah ahli Kitab Suci. Siapakah mereka?
Di wilayah Timur Tengah dulu, pada setiap bangsa mesti ada orang-orang yang menyusun catatan atau aturan mengenai sejarah, tata ekonomi hidup masyarakatnya. Bangsa Israel tentu juga punya orang-orang seperti itu, dan mereka ini begitu dihormati sejak zaman pembuangan di Babilonia. Kenapa? Karena tidak ada lagi Bait Allah; para imam juga tak banyak. Para ahli Kitab Suci inilah yang menyusun kembali teks-teks sakral untuk ditularkan bagi bangsa Israel dan konon memang pada zaman pembuangan itu dimulai juga pembangunan sinagoga yang pusat kegiatannya ialah mendengarkan ajaran teks sakral yang disusun ahli-ahli Kitab Suci itu.

Nah, begitu kembali dari pembuangan, ahli-ahli Kitab Suci ini mendapat posisi sentral dalam hidup keagamaan bangsa Israel: mereka jadi penafsir resmi teks sakral, bahkan jadi penentu akhir kasus-kasus hukum dalam masyarakat. Bisa jadi mereka mendapat respek lebih dari Nabi Musa yang dulunya mendapat wahyu perintah Allah. Dari pakaian kebesaran dan gelar kehormatan pun, yang tak perlu saya ceritakan secara detil di sini, kelihatan bagaimana mereka ini diposisikan seakan jadi sabda Allah yang hidup, perpustakaan berjalan untuk aneka macam kebijaksanaan Allah. Anggapan inilah yang rupanya dikritik Guru dari Nazareth; bukan per se pribadi ahli Kitab Sucinya sendiri yang dikritik, melainkan bagaimana mereka menikmati klerikalisme yang memberi privilese itu dan menyembunyikan kebusukan hati mereka.

Konon ada tiga belas wadah sumbangan di kompleks ibadat; yang dua belas sudah ada labelnya masing-masing untuk keperluan sumbangan hewan persembahan, kayu, vas emas, dan sebagainya. Wadah sumbangan itu berbentuk seperti terompet berbahan metal sehingga jika orang memasukkan koin persembahan ke dalamnya, semakin banyak koin semakin gemerincing nyaring suara wadahnya [mungkin itulah kenapa Guru dari Nazareth pernah bilang supaya kalau memberi sedekah, orang tak usahlah membunyikan terompet]. Rupanya, ke dalam wadah sumbangan ‘wajib’ itulah banyak orang dengan senang hati mencemplungkan koin-koin mereka; lama-lama bukan karena bela rasa kepada orang-orang yang sungguh membutuhkan, melainkan karena senang bunyi terompetnya (berbunyi untuk apresiasi dirinya sendiri)! 

Tak mengherankan, Guru dari Nazareth sendiri terpukaw sosok janda yang menyeruak di antara pribadi-pribadi yang menikmati klerikalisme itu; status janda sendiri pada saat itu melekat pada perempuan yang tak terproteksi karena ditinggal suaminya entah ke mana, yang semestinya memerlukan bantuan dari sana-sini juga untuk merawat anaknya. Kalau tak punya anak (laki-laki), warisan dari mantannya bakal lari ke saudara dari mantan suaminya. Lha kok jebulnya janda ini malah memberikan segala kepunyaannya pada wadah persembahan ke-13, untuk pemberian sukarela (tidak diatur seperti dua belas wadah lainnya). 

Ironi yang dilihat Guru dari Nazareth sama sekali tidak dimaksudkan kepada pendengarnya supaya meneladan tindakan si janda ini untuk mengorbankan seluruh hartanya. Di awal teks ditunjukkan tuduhan Guru dari Nazareth terhadap ahli Taurat yang ‘menelan rumah janda-janda’. Lalu jadi jelas: si janda ini memberikan segalanya kepada institusi religius yang jebulnya tersesat karena dikuasai orang-orang yang suka gemerincing terompet wadah-wadah amal! Itu menjijaykan. Ironi yang ditunjukkan Guru dari Nazareth menggugat klerikalisme yang mempermainkan hidup manusia yang sungguh butuh perlindungan. Konsekuensinya, kalau orang mau sungguh beramal, ia benar-benar perlu memastikan bahwa amalnya memang sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Kalau tidak, seperti ahli Taurat tadi, amal itu tak lain hanyalah instrumen untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya hidup kami memanifestasikan keadilan-Mu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXXII B/1
7 November 2021

1Raj 17,10-16
Ibr 9,24-28
Mrk 12,38-44

Posting 2015: Janda Miskin Yang Kaya