Beberapa waktu lalu rezim komunis Vietnam menciduk penjual mi yang membuat parodi pebisnis kuliner Turki; tidak hanya penjual mi yang diawasi rezim komunis, komunitas-komunitas minoritas religius biasanya ditindas juga oleh rezim ini. Apakah yang represif itu hanya rezim komunis? Ya tidak. Di India, dengan modal nasionalisme Hindu, serangan-serangan terhadap kelompok minoritas meningkat. Apakah cuma kaum tribal Hindu yang gemar menindas? Tidak juga. Teroris Islam di Nigeria menculik anak-anak perempuan Kristen dan di antara mereka banyak yang dipaksa masuk Islam dan kawin (atau urutannya dibalik). Apakah pemaksaan seperti ini hanya dilakukan oleh teroris Islam? Ne ne ne. Di desa-desa Meksiko, orang-orang Protestan jadi objek kekerasan para pemimpin komunitas yang maunya melestarikan tradisi keagamaan Katolik. Itu mirip-mirip dengan apa yang terjadi di Bahrain; kelompok Islam Suni yang merusak masjid-masjid kaum Syiah; sementara di Iran kaum Syiah meratakan kuburan-kuburan kaum Baha’i. Di Myanmar, para biksu Buddha mengobarkan kebencian terhadap kelompok Islam suku Rohingya.
Daftar cerita-cerita seperti itu, mayoritas yang mengintimidasi minoritas, bisa saja ditambah dari aneka belahan dunia lain. Apakah persoalannya hanya mayoritas yang menindas minoritas? Lha ya tidak, karena power relation alias relasi kekuasaan tidak bisa dikuantifikasi dengan angka semata. Saya yakin, sebelas anak yang Anda biayai sekolahnya tidak akan memberontak dan merebut pekerjaan Anda demi mendapatkan uang yang ingin mereka pergunakan seturut kemauan mereka. Ada faktor-faktor x yang membuat Anda lebih powerful daripada anak-anak Anda dan, entah disadari atau tidak, bisa saja faktor itu Anda pakai untuk mengintimidasi anak-anak loh.
Ya kan demi kebaikan anak-anak juga, Rom?
Lha iya, koruptor itu juga yakin bahwa korupsinya demi kebaikan, sebagaimana diyakini oleh aneka kelompok di awal tulisan tadi. Semua berpikir dan menganggap yang mereka lakukan dengan menindas atau melawan pihak lain adalah sebuah kebaikan; lupa bahwa mereka telah menceraikan kebaikan itu dari cara dan sarana yang mereka ambil; lupa bahwa tidak semua corona baik-baik saja.
Saya baru ngeh bahwa frase seperti freedom of religion and belief atau kebebasan beragama yang ditegaskan deklarasi HAM pertama-tama adalah perkara perlindungan terhadap manusianya, bukan terhadap agama atau kepercayaannya sendiri. Pada kenyataannya, orang bisa memilih kepercayaan atau agama tertentu; bukankah runyam jika setiap orang berjibaku membela agama atau kepercayaannya sendiri-sendiri? Apatah yang mau dikejar dengan pembelaan macam itu? Mahkota apa yang hendak digapai? Adakah jaminan rida Allah di luar kemanusiaan konkret selain janji-janji gak jelas, yang putus hubungan dengan kemanusiaan konkret itu?
Tapi apa daya, memang rupanya orang punya insting yang disebut Rosling sebagai perspektif tunggal: melihat apa semua-muanya lewat satu teropong. Di negeri ini teropong agama sangat laris, sedemikian larisnya sehingga tak lagi bisa membedakan antara kepentingan religius universal dan kepentingan politik partikular. Akibatnya, politik agama tumbuh subur dan sudah dengan sendirinya menyimpan potensi konflik. Cyber army dengan label agama, wisata dengan label agama, bahkan olah raga pun, senasib dengan kulkas, bisa diberi label agama. Label memang bisa mengerikan karena mengotak-kotakkan orang, dan mungkin justru karena itulah orang-orang yang sedang mengejar corona dari dunia ini getol dengan label. Kalau pun orang-orang ini bilang membela Tuhan, yang dibela sesungguhnya adalah label. Juga jika orang-orang ini kekeuh memperjuangkan hal rohani, yang diperjuangkan sesungguhnya adalah ideologi. Pendekatannya tidak mengarah pada kasih, tetapi dominasi, hegemoni, intimidasi, bahkan exploitasi.
Semoga corona yang merajai hati Anda dan saya adalah mahkota cinta dan kerahiman Tuhan sendiri. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXXIV B/1
Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam
21 November 2021
Dan 7,13-14
Why 1,5-8
Yoh 8,33b-37
Posting 2015: Di Sini, Bukan dari Sini
Categories: Daily Reflection