Analogi dalam posting Dari Falsafah ke Filsafat menempatkan filsafat bagaikan kamera DSLR dengan lensa bukaan kecil sehingga area fokusnya lebih luas dan dalam. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa framing objek dengan lensa bukaan kecil itu tidak begitu saja cocok untuk segala jenis fotografi. Katakanlah, itu lebih tepat untuk foto-foto landscape, pemandangan, yang menampilkan keseluruhan unsur sebagai fokus perhatian.
Jika Anda memotret pemandangan tetapi memakai bukaan besar, apalagi keliru membidik fokusnya, hasilnya bisa bikin mata tak nyaman melihatnya:
Komposisi foto di atas bisa dikatakan baik, tetapi karena fokusnya ada pada infinity alias tempat terjauh (awan di tengah atas) atau bisa jadi malah pemandangan itu dijepret dengan kamera manual dan out of focus, hasilnya buram di segala lini. Akan tetapi, andaikanlah fokus kamera diletakkan di pasir, dengan bukaan f/1.4, yang akan terlihat sharp bin tajam alias jelas adalah pasir di depan saja, sedangkan rumput serta gundukan bukit di latar belakang akan tetap buram. Ini tidaklah baik untuk foto landscape.
Mari bandingkan dengan foto di bawah ini.
![]() |
Dibandingkan foto sebelumnya, foto ini relatif tajam dari objek terdekat sampai objek terjauh. Andaikan teknik pengambilan foto ini (dengan bukaan f/8 atau f/16) dipakai untuk menyotrek pemandangan pasir tadi, kiranya foto landscape hamparan pasir jauh lebih menarik. Begitulah, bagaikan foto landscape, filsafat memberi panorama yang lebih luas dan dalam dengan modal rasionalitas manusia yang merambah apa saja.
Sayangnya, foto landscape tidak memberi info detail tentang seluruh objek. Pada foto Vatican itu tidak terlihat detail patung-patung dan tulisan yang ada di atas pilar-pilar depan basilika. Detail diperoleh dengan menambah panjang fokus lensa (lensa tele 300mm misalnya). Dengan kata lain, foto landscape memberi pemahaman akan keseluruhan objek yang direkam, tetapi tidak memberikan penjelasan rinci tentang seluruh objek itu. Orang tahu keindahan seluruh panorama sebagai satu kesatuan objek, tetapi tidak mendapat penjelasan rinci objek-objeknya. Penjelasan rinci bukanlah karakteristik foto landscape, melainkan ciri foto makro atau portrait, yang biasa dipakai misalnya untuk menunjukkan identitas seseorang.
Tentu, foto ini bukan foto patung yang ada di atas Basilica San Pietro. Ini adalah foto detail kemeriahan sebuah karnaval, yang jika diambil dengan teknik foto landscape, sosok mbak-mbak ini akan tenggelam dalam keramaian karnaval. Sampai di sini, tampaknya tiada pilihan lain: mau keseluruhan atau mau detail. Kalau mau keseluruhan ya pakai lensa landscape, kalau mau detail ya pakai lensa portrait dengan bukaan yang tidak terlalu besar, misalnya.
Jadi, gimana mau dapat dua-duanya, baik penjelasan detail maupun pemahaman keseluruhan kenyataan?
Yang memungkinkan untuk dapat dua-duanya bukanlah fitur lensanya, melainkan fitur kameranya: semakin kamera memiliki prosesor yang bisa mengolah resolusi tinggi (megapixel besar), semakin memberi detail yang baik. Jadi, meskipun memakai lensa lebar untuk landscape dengan bukaan kecil, hasil fotonya tidak kehilangan detail.
Apa yang dapat dianalogikan sebagai resolusi tinggi kamera untuk memahami keseluruhan dan menjelaskan detail itu?
Marilah kembali kepada portrait mbak-mbak tadi. Anda tidak dapat tahu persis apa yang ada di sekeliling mbak-mbak itu dalam karnaval, kecuali jika Anda pada 16 Oktober 2010 bersama saya di lokasi karnaval atau foto yang saya tampilkan adalah foto dengan pemakaian lensa lebar, yang menangkap kenyataan di sekeliling mbak-mbaknya itu.
Akan tetapi, ada cara lain untuk mengetahui apa yang ada di sekeliling mbak-mbak itu: Anda percaya saja pada penjelasan detail saya tentang karnaval yang diikuti mbak-mbak itu. Dengan kepercayaan dan rasionalitas Anda untuk memercayai kesaksian saya, Anda memperoleh pemahaman karnaval dan mengetahui detail mbak-mbaknya itu (ya meskipun tetap dari luarnya aja, wong ini ya perkara wang sinawang🤭).
Di situlah objek material filsafat, kenyataan hidup manusia ini, diteropong dengan objek formal beresolusi tinggi: melalui iman, tanpa menanggalkan rasionalitas manusia. Di sini, Anda bergerak dari filsafat menuju teologi. Anda tidak lagi meributkan apakah di atas pilar Vatican itu ada tulisan dan patungnya, sebagaimana Anda tidak akan repot-repot berpikir keras apakah di sebelah kiri mbak-mbaknya itu ada pacarnya atau bapaknya yang overprotective. Anda cukup percaya saja pada apa yang saya katakan, yang melihat objek material itu dengan mata kepala sendiri.
Begitulah kerap digambarkan bedanya filsafat dari teologi. Sama-sama bagaikan orang dimasukkan dalam ruang gelap untuk mencari kucing hitam, dan sang filsuf terus mencari-cari dan tidak menemukan apa-apa meskipun terdengar suara kucing, sedangkan sang teolog tak lama setelah mendengar suara kucing lantas berteriak,”Ini dia kucingnya!” Tetapi saking gelapnya ruangan, mereka tidak dapat melihat apa-apa.
Categories: Reference
You must be logged in to post a comment.