Belum lama muncul lagi berita artis drakor yang bunuh diri: beberapa hal dalam hidupnya tak berjalan seturut skenarionya. Mengenai hal ini saya pernah singgung pada posting Susahnya Hidup. Ndelalahnya ini pas materi perkuliahan saya menyinggung soal pemaknaan hidup. Ini adalah bahan untuk refleksi dari falsafah ke filsafat. Shortcutnya: hidup ini pada dirinya tidak memberikan jawaban utuh bin sempurna sehingga sangat mungkin orang tidak menemukan makna dalam hidupnya. Kenapa? Karena hidup itu sendiri adalah pertanyaan mendasar (kenapa aku mesti ada kalau jebulnya suatu saat nanti toh tiada, untuk apa aku hidup, dan seterusnya). Mosok jeruk makan jeruk!
Saya tidak akan mengulanginya, tetapi akan berangkat dari anekdot terakhir tentang perbedaan filsafat dari teologi yang menampilkan objek material kucing hitam di kamar gelap. Dalam anekdot itu belum saya sertakan saintis, yang muncul belakangan ke kamar gelap dengan membawa senter; dan atas jasa senter itulah dia menyatakan bahwa kucing hitam itu tidak ada!
Itu bisa jadi sindiran terhadap filsafat maupun teologi, seakan-akan sainslah yang memiliki kata akhir terhadap ada tidaknya objek material. Akan tetapi, tentu filsuf dan teolog tidak terima begitu saja. Keunggulan filsafat ialah potensinya untuk menyodorkan pertanyaan (bahkan sebelum pertanyaan pertama terjawab)! Maka, filsuf akan mempersoalkan klaim saintis: “Apa maksudmu ‘kucing hitam itu tidak ada’? Tidak ada di sini sekarang ini atau juga tadi tidak ada atau bahkan kucing hitam itu selamanya tak ada? Ingat, Anda masuk belakangan loh!” Tambah ramai lagi kalau objek materialnya bukan lagi cuma kucing hitam dan sains mau membuat klaim bahwa ‘tidak ada Allah’! Sang teolog bisa iseng bertanya,”Bagaimana Anda menyenteri Tuhan njuk bilang Tuhan gak ada?”
Betul sih, sains menjelaskan banyak hal dari hidup ini dan bahkan mengembangkan kualitas hidup manusia juga. Sains bisa mempromosikan suatu created environment, bukan lagi lingkungan alamiah, dan itu menyenangkan. Akan tetapi, itu juga punya risiko yang bukan lagi bencana alam, melainkan bencana buatan (manufactured risk). Di situlah kelihatan bahwa rasionalitas manusia bisa juga menentang dirinya sendiri: teknologi mestinya mempermudah hidup orang, tetapi tidak otomatis begitu karena sebagian orang malah mengalami kesulitan.
Tentu, sains bukan satu-satunya gejala manusiawi untuk menggali dan memecahkan hidup yang jadi persoalan ini. Agama juga berupaya menyodorkan jawaban. Akan tetapi, tak berbeda dari rasionalitas, agama pun bisa menyangkal klaimnya sendiri. Alih-alih menjadi bagian pemecahan masalah, malah bisa jadi bagian permasalahan karena cuma jadi candu ritualisme, protokol, kaidah moral, masker alias topeng dalih suci, dan seterusnya.
Selain dengan dua gejala itu, orang juga mencoba membangun ideologi yang dianggap mampu menjelaskan persoalan hidup dan memecahkannya dengan sistem yang komplet. Akan tetapi, bukankah komunisme jebulnya ya tidak jauh-jauh amat dari kapitalisme yang ditentangnya sendiri? Bukankah kapitalisme tak sanggup memecahkan persoalan ketimpangan yang menginjak-injak orang tanpa modal?
Dengan demikian, mengandalkan hidup ini sendiri untuk menjawab pertanyaan mengenai makna dijamin berakhir dengan kartun di atas: Life has no intrinsic meaning. Akibatnya, yang satu berkesimpulan: ngapain hidup, dan yang lainnya berkesimpulan: asal hidup ajalah yang penting. Di sini, teologi mungkin berguna untuk membangun makna intrinsik.
Categories: Reference
You must be logged in to post a comment.