Jika filsafat tak dapat menjawab pertanyaan mengenai makna hidup dengan rasionalitasnya belaka, apakah teologi yang rasionalitasnya terbumbui iman bisa menjawabnya? Apakah persoalan makna hidup ini bisa diselesaikan dengan keyakinan semacam “Tanpa Tuhan, tiada bermaknalah hidup ini” atau “Hidupku tak berarti tanpa Yesus” dan semacamnya? Kalau iya, apa harus begitu juga?
Dulu pernah muncul adagium philosophia ancilla theologiae (filsafat adalah hamba teologi). Dengan ungkapan itu konon St. Petrus Damianus hendak membungkam filsafat. Ini bukan soal teologi lebih atau paling tinggi posisinya, melainkan soal menghentikan tendensi filsafat yang pada dasarnya mempersoalkan apa-apa saja, termasuk traktat teologis yang dipakai untuk praktik hidup keagamaan.
Bentuk penghambaannya mungkin bisa dianalogikan begini. Seorang pelatih anjing mengadakan percobaan untuk membuktikan hubungan antara kaki anjing dan telinga. Pada percobaan pertama, dua kaki depan anjing diikat, lalu sang pelatih berteriak meminta anjing melompat, dan anjing itu pun melompat. Pada percobaan kedua, ikatan pada kaki depan dilepaskan dan gantian dua kaki belakang diikat, lalu sang pelatih berteriak meminta anjing melompat. Anjing pun melompat. Pada percobaan ketiga dan keempat, ikatan dilakukan terhadap kaki-kaki kanan dan kemudian kaki-kaki kiri. Anjing pun tetap dapat melompat.
Akhirnya, pada percobaan kelima, keempat kaki anjing itu diikat, dan sang pelatih berteriak meminta anjing itu melompat, tetapi anjing tidak dapat melompat dan hanya kaing-kaing. Setelah itu, sang pelatih anjing mengambil kesimpulan bahwa jika semua kaki anjing diikat, anjing itu akan menjadi tuli!
Kita tahu bahwa penarikan kesimpulan itu menyalahi kaidah logika dan sains karena tentu saja yang memampukan anjing melompat bukanlah telinganya!
Begitulah jika filsafat diperlakukan sebagai pembantu teologi. Bukan cuma filsafat, sains yang diperlakukan sebagai pembantu teologi akan bernasib sama: sudah capek-capek membuat penelitian lapangan soal sampah dan banjir, jebulnya kesimpulannya normatif: orang beriman tidak boleh membuang sampah sembarangan!
Loh, bukankah betul orang beriman tidak boleh membuang sampah sembarangan supaya tidak menyebabkan banjir!
Betul, tetapi itu adalah kesimpulan normatif; padahal penelitian lapangannya bersifat deskriptif yang memberikan premis-premis deskriptif pula. Itu mirip seperti penelitian anjing tadi: lha wong premisnya mengenai kaki, kok njuk kesimpulannya mengenai telinga!🤭
Mengingat kembali tahap pemikiran fungsional van Peursen, jelaslah posisi teologi bukan lagi domina philosophorum (tuannya filsafat) dan filsafat adalah ancilla theologiae. Tak bisa diterima: wacananya filosofis, kesimpulannya teologis. Nah, kalau tidak begitu, gimana bentuk relasi filsafat dan teologi dong? Kalau premis dan kesimpulannya mesti sinkron, gimana kesimpulan teologis dibangun dari atas penelitian empirik sains dong?
Tentu, alih-alih membuat relasi subordinatif, filsafat-teologi-sains bisa jadi kolaborator: filsafat piawai menyodorkan pertanyaan yang terbuka pada jawaban teologis, tetapi jawaban teologis juga terbuka pada pertanyaan filsafat dan tidak menjadi ideologis. Begitu seterusnya sehingga baik filsafat maupun teologi akhirnya dapat juga berkolaborasi dengan sains, yang dapat memberikan penjelasan terhadap pemahaman hidup yang disodorkan filsafat dan teologi.
Kolaborasi mengandaikan para kolaboratornya tahu batas dan perannya: sadar akan objek formal dan objek materialnya. Seluruh disiplin ilmu dalam kolaborasi dengan filsafat-teologi ujung-ujungnya hendak mencari kebenaran yang terhubung dengan subjek pencarinya: AKU, yaitu saya, kami, kita, Anda, kalian, dia dan mereka. Maka dari itu, subjek pencari kebenaran inilah yang bisa jadi hub alias penghubung filsafat-teologi-sains untuk bergumul dengan makna hidup. Kata senior saya: Aku adalah penyandang pertanyaan dasar tentang makna hidup. Jadi, teologi bisa join dengan sains untuk menjabarkannya. Mungkin posting Tahu Galaksi Tahu Diri bisa sedikit menggambarkan kolaborasi itu.
Categories: Reference