Konon sepasang suami istri hidup hanya berdua di rumah dan tidak pernah akur. Sang suami lebih kerap mabuk. Sang istri hanya bisa ngomel-ngomel dan memperlakukan suaminya sebagai suruhannya untuk ini itu. Entah dari mana mereka dapat biaya untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga. Pokoknya mereka sangat tidak akur sampai pada suatu momen sang istri tak tahan lagi dan ingin membuat suaminya stroke lalu segera meninggal [ebuset]. Momen itu tiba juga karena suaminya, meskipun suka mabuk, tetapi masih ada takut-takutnya pada kematian dan setan, khususnya yang disebut Lusifer. Sang istri ini berdandan rapi dengan pakaian canggih sebagai Lusifer, lalu menyembunyikan diri di perdu pagar dekat rumah, tempat biasanya sang suami berjalan pulang.
Sesuai rencana, suaminya pulang dalam kondisi agak teler, dan sang Lusifer ini melompat persis di hadapan si suami sambil berteriak-teriak dengan suara parau dan mengejutkan lelaki pemabuk itu. Sang suami terjerembab jatuh ke belakang dan dengan ketakutan bertanya,”Siapa kamu?”
“Aku Lusifer, mau antar kamu ke malaikat pencabut nyawa!”
Sang suami mengucek matanya, bangun, dan dengan ramah mempersilakan Lusifer masuk ke pekarangan rumah.
“Silakan, silakan masuk. Aku sudah lama tinggal bersama saudara perempuanmu di sini!”
Kalau orang tidak autentik, ia masih cari selamat sendiri: ja’im, label, nama besar, popularitas, dan seterusnya. Orang seperti ini tidak mengorientasikan dirinya sebagai garam dan pelita yang dipakai sebagai metafor dalam teks bacaan hari ini. Garam itu dah dari sononya asin, identitasnya terletak pada keasinannya, tetapi ia tak pernah ada untuk mengasinkan dirinya sendiri. Begitu juga lampu, ia menjadi terang bukan untuk menerangi dirinya sendiri, melainkan untuk membuat mereka yang di sekelilingnya menjadi autentik seperti garam tadi, kelihatan apa adanya.
Bagaimana para murid Yesus dari Nazareth ini menjadi autentik? Ya persis dengan berhenti mencari diri sendiri belaka, berhenti mencari selamat sendiri saja, berhenti mencari kesucian pribadi thok, dan mengarahkan diri pada kesejahteraan bersama karena di situlah kemuliaan Tuhan kelihatan. Ini tidak gampang karena ada kalanya, seperti dibilang penulis kitab Yesaya, orang mesti ‘menyerahkan kepada orang lapar apa yang diinginkannya sendiri.’ Lebih mantul lagi dikatakan: memuaskan hati orang tertindas. Dalam hal ini, bantuan kepada orang lain bukan lagi sekadar perkara kesalehan pribadi, kebaikan individu, melainkan sudah masuk ranah sosial. Teks Injil hari ini mengkritik mereka yang menghayati agama sebagai alat keselamatan pribadi, kesalehan individual dan sejenisnya. Beriman adalah perkara keterlibatan sosial, sehingga dalam iman, tak ada tempat untuk cari selamat sendiri tadi.
Di situ, orang beriman mesti berpikir bagaimana terjadi struktur penindasan dan ‘garam dan terang’ itu tak lain adalah nyemplung ke ranah yang targetnya menghancurkan struktur penindasan itu. Celakanya, jika orang beriman tak autentik, bahkan target mulia keadilan sosial tadi bisa jadi alat untuk safari politiknya, janji maniesnya, ambisi tendensiusnya atau tendensi ambisiusnya.
Ya Tuhan, mohon rahmat untuk menampilkan identitas autentik kami sebagai anak-anak-Mu. Amin.
MINGGU BIASA V A/1
5 Februari 2023
Yes 58,7-10
1Kor 2,1-5
Mat 5,13-16
Categories: Daily Reflection