Sempurna

Apakah kesempurnaan itu milik Tuhan semata? Saya meragukannya. Paling tidak, lagu berikut ini menunjukkan salah satu buktinya.

Di kolom komentar pada situs pemuat lagu itu ada ketikan berikut ini:


Dengan lirik lagu dan komentarnya itulah saya membaca teks hari ini, yang sudah bertahun-tahun dulu saya pahami secara keliru meskipun itu jadi teks favorit.
Meskipun saya bukan Tuhan, kalau saya mendengar orang memimpin doa dengan ujung “Doa yang tidak sempurna ini kami sampaikan bla bla bla,” saya toh tetap tertawa terbahak-bahak dalam hati. Apa di era informasi ini Tuhan masih kurang info bahwa doanya gak sempurna?

Serius dikit. Teks “Jadilah kamu sempurna seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” itu jadi korban ketololan saya. Teks itu jelas tidak meminta pembacanya untuk menjadi Tuhan, tetapi dulu saya pikir begitulah bunyinya: jadilah sempurna, tidak sekarang, suatu saat nanti dengan seluruh ujian hidup, jadi sempurna seperti Tuhan sendiri.

Ya ada benarnya juga sih; cuma di situ, kesempurnaan jadi produk; padahal teks itu tidak membahas soal produk, melainkan perkara cara bertindak, way of life, yang sumbernya dari Tuhan. Bukankah itu juga yang disasar oleh prinsip tauhid, bahwa cara kita bertindak bersumber dari Tuhan YME itu? Tak mengherankan, lirik lagu itu menyebut: Kau adalah darahku. Kau adalah jantungku. Kau adalah hidupku. 

So, ‘jadilah sempurna’ dalam teks hari ini agaknya lebih masuk akal dimengerti begitu: menerima Allah sebagai darah, jantung, hidup. Artinya, yang sempurna adalah penerimaannya, yang tuntas sampai terwujud dalam daging, kata, tindakan. Ini tak terhubung langsung dengan sikap perfeksionis; dalam banyak hal malah sikap itu kontradiktif dengan kesempurnaan Allah. Kalau boleh merujuk komentar terhadap lagu di atas, kesempurnaan tidak merujuk pada maksimalisasi kualitas kepribadian seseorang, tetapi pada cinta tanpa pamrihnya, cinta yang berasal dan kembali kepada Allah, cinta yang melampaui ikatan-ikatan manusiawi (tidak sama dengan ‘tanpa ikatan manusiawi’).

Kalau mau lebih konkret lagi, kembali ke ayat-ayat sebelumnya saja. Dulu ada nasihat untuk tidak mengupayakan kesejahteraan musuh sampai selama-lamanya. Itu klop dengan prinsip retaliasi, balas dendam. Sekarang, Guru dari Nazareth itu malah mengundang murid-muridnya untuk mengasihi musuh dan mendoakan penganiaya mereka. Apakah itu demi pertobatan mereka? Supaya mereka pelan-pelan berubah seiring waktu karena didoakan? God knows, tapi teks tidak omong soal itu. Poinnya ya cuma kalo orang menghidupi prinsip tauhid, menghayati diri sebagai murid Kristus, menghidupi identitas sebagak anak Allah, ya paradigma dan tindakannya mestilah mengalir dari sumbernya dong! Tak usah bikin kalkulasi macam-macam. Itu tak bergantung pada balasan yang diterima berupa susu atau tuba.

Jebulnya, kesempurnaan sebagai proses susah juga ya. Haiya, tēnèh dunia kiamat kalau jadi sempurna itu gampang! Yang kerap disalahartikan dari ayat hari ini ialah perkara kasih pipi kiri juga jika pipi kanan ditampar, seakan-akan Guru dari Nazareth menyodorkan semangat submisif nan pasif. Padahal, waktu blio sendiri ditampar, reaksinya gak keliatan submisif pasif sama sekali; malah protes: salah gua apa!

Barangkali contoh Nabi Muhammad bikin lebih mudah memahami anjuran itu. Berbeda dari situasi hidup Guru dari Nazareth, Nabi Muhammad lahir dan besar di wilayah yang defaultnya adalah perang antar suku yang tak terikat perjanjian damai. Jadi, nyawa ganti nyawa itu adalah hukum yang lumrah, berterima, tak mengherankan. Akan tetapi, tindakan Sang Nabi rupanya tak berasal dari hukum yang lumrah itu. Maka, jika toh tindakan keras diambilnya, asalnya bukan dari default budaya antarsuku tadi, melainkan dari kecintaan beliau kepada Allah supaya mereka yang keji itu terbebaskan dari default budaya itu.

Dengan kata lain, pipi kiri kanan itu merujuk pada ruang kebebasan manusia supaya pilihannya tidak otomatis dari sebab-akibat, tetapi dari visi orang beriman yang mengandalkan Allah. Pun kalau mesti mengambil langkah tegas dan keras, langkah itu tidak berasal dari keadaan kena mental.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk memandang hidup sebagaimana Engkau memandangnya. Amin.


HARI MINGGU BIASA VII A/1
19 Februari 2023

Im 19,1-2.17-18
1Kor 3,16-23
Mat 5,38-48

Posting 2017: Cinta Nol Rupiah