Admin

Untuk apa berdoa kalau Tuhan itu maha tahu? Untuk apa ritual ibadat persembahan jika Tuhan lebih berkenan pada belas kasih? Ngapain juga berpantang dan berpuasa kalau tidak mengubah dunia? Begitu juga sedekah, untuk apa kalau ternyata malah bikin kesenjangan sosial menjadi-jadi?
Bacaan-bacaan pada hari Rabu Abu selayang pandang menyodorkan kesalehan-kesalehan hidup orang beragama: berpantang, berpuasa, berdoa, dan bersedekah. Akan tetapi, kalau disimak baik-baik, jebulnya ini bukan perkara kesalehan individual begitu.

Anda pasti sudah pernah membaca frase Latin suum cuique. Kalau dibaca dengan gaya Jawa versi lambat kira-kira jadi suum kuwi kuwé. Memang ada hubungannya dengan (pembagian) kue, tetapi tentulah bukan info bahwa suum itu nama kue. Maksudnya ialah rendering to each what is due atau to each their own, yang kadang diterjemahkan sebagai definisi keadilan: memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dari situ nanti muncullah aneka macam teori tentang keadilan dengan segala istilah dan kerunyamannya: siapa yang menentukan hak, adil buat siapa atau menurut siapa, tolok ukurnya apa, dan seterusnya.

Anjuran Guru dari Nazareth untuk berdoa, berpuasa, dan bersedekah rupanya mengandaikan konsep keadilan yang melampaui kerunyaman suum cuique tadi. Poinnya yang saya tangkap hari ini: Koyakkan hati bukan pakaian supaya dilihat Allah dan bukan manusia. Ini bukan perkara kalkulasi tolok ukur keadilan, siapa mendapat berapa, siapa diganjar apa, atau bagaimana supaya setiap orang mendapatkan haknya. Sudah pernah saya singgung, sedekah dari bahasa semitik berarti keadilan sehingga jika Guru dari Nazareth menganjurkan paket sedekah, doa, puasa, itu mestilah dimaksudkan sebagai praktik keadilan Allah.

Orang tak bisa menghidupi keadilan Allah semata dengan kalkulasi matematis, materialis, ekonomis, atau legalis, betapa pun penting kalkulasi itu. Guru dari Nazareth tampaknya tidak antusias terhadap konsep trickle down effect atau keutamaan individual ala Robin Hood. Semua praktik religius diarahkannya kepada pengoyakan hati supaya orang dapat melihat sebagaimana Allah melihat. Alhasil, ini bukan pertama-tama soal hitung-hitungan berapa persen kekayaan kita mesti diteteskan ke bawah, seakan-akan kita punya hak mutlak atas kekayaan kita sendiri (yang belum tentu juga ‘bersih’).

Momen puasa Prapaska semestinya menjadi momen untuk mengubah cara berpikir, cara melihat, cara menjalani hidup: bukan lagi kumpulkan harta sebanyak mungkin supaya bisa dibagikan kepada orang miskin, melainkan mengingat bahwa semua milik Allah yang mesti dikelola supaya tak ada lagi orang-orang miskin. Momen puasa Prapaska seyogyanya menyadarkan orang beriman bahwa dia ‘cuma’ admin, bukan owner hidup ini.

Dengan begitu, puasa juga bukan momen untuk cemberut menahan lapar dan haus, menderita demi nyogok Allah supaya bertindak, bersusah payah menjadi pribadi yang baik di mata orang, melainkan  momen cinta yang dibagikan kepada dunia. Konkretnya?
Andaikan Anda hari ini, seperti biasanya, punya anggaran makan 500 ribu rupiah (bangsa apa atau bangsa manakah Anda ini?), cukupkanlah untuk makan roti (atau nasi putih) dan air putih, lalu sisa anggarannya Anda berikan pada anak yatim atau janda miskin yang hidupnya dihimpit sistem korup. Ini praktik sejak Gereja Perdana dulu. Jika itu mengalir dari cinta, mengapa puasa mesti cemberut, bukan?
Lah, kan laper, Mo?
Nah, malah ketawa deh saya.

Tuhan, mohon rahmat cinta-Mu supaya kami mampu menghidupi keadilan-Mu sejak dalam pikiran. Amin. 


HARI RABU ABU
22 Februari 2023

Yl 2,12-18
2Kor 5,20-6,2
Mat 6,1-6.16-18

Posting 2021: Sedekah Iman
Posting 2020: Waspada Saja, Tong!
Posting 2019: Puasa Kampanye

Posting 2018: Puasa dari Valentine

Posting 2017: Come Back to Me

Posting 2016: Tobat, Bos!
 

Posting
2015: Grow up, Brow!

Posting 2014: Solidarity with The Father