Tobat, Bos!

Anda masih ingat kisah anak SD yang masuk bilik pengakuan karena disuruh mamanya (kalau tak ingat, silakan klik di sini). Jelas bahwa ia menjalankan perintah agama itu semata karena kewajiban. Ini normal untuk anak-anak tapi pada umumnya kenormalan itu dibawa serta sampai usia dewasa sehingga sampai usia dewasa pun orang beriman seperti anak-anak: childish (bukan childlike). 

Hari ini Gereja Katolik memulai masa liturgi yang sulit dihayati anak-anak dan mereka yang childish. Angka 18-59 tahun hanyalah patokan bahwa orang-orang dalam rentang usia itu memiliki modal untuk menjalankan masa puasa dan pantang. Akan tetapi, juga dalam rentang usia itu, kalau orang-orangnya masih memelihara sikap childish dalam beriman, puasa dan pantang pun minim makna. Sebagaimana cinta, iman pada masa Prapaska lebih menuntut kedewasaan untuk menempatkan sisi gelap kemanusiaan dalam terang kerahiman Allah. Ini tak mungkin digapai dengan disposisi batin konsumtif, dominatif, koruptif, manipulatif, agresif (entah aktif maupun pasif).

Menjelang masa Prapaska ini suasana Gereja Katolik Indonesia dalam dunia maya dihangatkan oleh aneka komentar terhadap sebuah misa perkawinan yang dihadiri oleh 12 uskup. Ini bukan kali pertama bahwa banyak uskup melakukan konselebrasi dalam misa perkawinan. Blog ini tidak hendak masuk dalam polemik itu, tetapi mengusulkan beberapa poin yang mungkin baik ditinjau kembali makna dan wujud konkretnya.

Yang pertama adalah soal ketulusan, sebagai lawan dari semangat do ut des (keterangannya ada di tulisan ini). Di beberapa gedung milik Gereja tertera nama-nama dermawan besar, dan pencantuman nama itu tidak selalu muncul dari keinginan donaturnya sendiri, tetapi dari sisi penerima donasi yang hendak mengungkapkan rasa terima kasih tak terhingga. Ini bukan konflik zero-sum ketulusan, seakan-akan jika yang satu menghendaki sesuatu secara tulus, yang lainnya jadi tidak tulus. Konkretnya, bukan lantaran nama donatur diukir pada marmer lantas donatur itu dianggap tak tulus memberikan donasinya.

Yang kedua berkenaan dengan profesionalisme dan persahabatan. Ini bukan perkara mudah karena gampang terjadi salah kaprah: atas nama persahabatan, profesi bisa juga dikorbankan. Mengapa terjadi demikian? Justru karena orang tidak masuk dalam ranah kedalaman suatu relasi. Kagak ada lo memang bisa jadi kagak rame, tetapi inti persahabatan memang bukan pada keramaian, gerombolan, ubyang-ubyung yang sangat rentan pada kekuatan impersonal psiko-sosial (halah opo maneh kuwi!). Profesi orang luluh bukan karena relasi antarhati, melainkan karena orang-orang yang tersangkut di dalamnya terjerat oleh pesona selebrasi seolah-olah itulah yang utama. Ini namanya gagal fokus, yang pada gilirannya juga menggerogoti, kalau tidak menghancurkan ketulusan, iman, cinta.

Tapi ya bagaimana lagi, memang kita semua, seperti ditegaskan Paulus, adalah orang-orang rapuh, tetapi bukan orang rapuh yang tak berpengharapan. Masih ada harapan, sekurang-kurangnya masa Prapaska ini jadi kairos untuk merajut kerahiman Allah dalam hidup orang beriman. Itu maksudnya ‘diperdamaikan dengan Allah’: bukan melulu soal ngaku dosa minta pengampunan, melainkan justru soal terlibat aktif mewujudkan ‘tangan-tangan Allah’ yang bekerja merawat, membangun dunia yang lebih manusiawi bagi semakin banyak orang [dan bukannya malah membuat seleksi diskriminatif]. 

Ya Tuhan, sekali lagi mohon rahmat ketulusan hati-Mu ya. Amin.


HARI RABU ABU
10 Februari 2016

Yl 2,12-18
2Kor 5,20-6,2
Mat 6,1-6.16-18

Posting 2015: Grow up, Brow!
Posting 2014: Solidarity with The Father