Waspada Saja, Tong

Kalau kelak jadi gubernur dan ditanya soal solusi banjir, Anda bisa menjawab: waspada saja! Tapi itu kelak ya, jangan sekarang. Soalnya, kalau sekarang, saat blueprint mitigasi banjir tak jelas, Anda jawab begitu, Anda membuka wajah sebagai pelayan publik yang masa bodoh terhadap masalah publik. Anda sibuk dengan isi kepala Anda sendiri untuk melarikan diri dari persoalan konkret yang dihadapi banyak warga. Tidak ada yang mengatakan bahwa banjir ini perkara gampang, tetapi nasihat moral untuk waspada itu cuma muara dari ketidakpedulian Anda.
Loh, saya kan sudah bilang fokus pada pendampingan korban supaya mereka tidak kelaparan dan kalau banjir surut bisa kembali ke rumah masing-masing?
Iya, betul, jangan-jangan Anda gak ngerti maksud mitigasi ya? Mitigasi itu termasuk persiapan, antisipasi, bukan cuma memberi makan setelah seisi rumah hanyut diterjang banjir.

Akan tetapi, baiklah, berhubung hari ini awal bulan puasa orang Katolik, saya terima saja nasihat moral ‘waspada saja’. Tentu, namanya juga nasihat moral, pasti bukan solusi untuk persoalan banjir dong. Nasihat itu berlaku juga untuk penuturnya sendiri: nyuruh-nyuruh orang lain waspada, bisa jadi sendirinya malah bikin orang lain was-was. Itu rasanya seperti bayar parkir motor di muka dan juru parkirnya berkata “motor ilang bukan tanggung jawab saya ya”. Sontoloyo tenan.

Mungkin biar tidak susah, mulai saja dengan mengenangkan saat-saat Anda menjadi monyet. Persisnya, ketika dalam hati Anda dulu berdegup sesuatu yang tak seperti biasanya karena Anda tahu ada si anu yang membuat Anda jadi bertingkah beda juga. Mungkin Anda lebih bersemangat ketika si anu itu menonton Anda bertanding. Mungkin Anda lebih dominan dari biasanya ketika sadar bahwa si anu itu sedang mengawasi Anda dari jauh. Detailnya mesti Anda lebih tahu. Saya cuma sebentar jadi monyet, soalnya.😂

Ini adalah metafora untuk menunjukkan motif perubahan perilaku orang. Ia ingin menampilkan diri sedemikian rupa sehingga menarik perhatian orang tertentu. Maka dari itu, harus kelihatan dalam penampilan dirinya. Ini berbeda dengan nasihat yang diberikan Guru dari Nazareth untuk mereka yang berpuasa: bukan untuk menarik perhatian orang lain, melainkan untuk menarik perhatiannya sendiri pada hal-hal yang berguna bagi perkembangan jiwanya. Maka dari itu diperlukan kewaspadaan. Orang perlu waspada apakah perilakunya ditujukan untuk menarik perhatian orang lain, ukuran-ukuran orang lain, atau tindakannya sungguh berasal dari pertobatan yang sesungguhnya.

Maka dari itu, kalau Guru dari Nazareth berpesan bagi mereka yang berpuasa dan berdoa supaya mengunci diri, tentu maksudnya bukan supaya memang sungguh mengunci diri di kamar, melainkan supaya orang waspada bahwa tindakan baiknya bisa menggelincirkan orang sehingga galfok: alih-alih bertobat, malah mencari dukungan dari manusia lain; alih-alih membangun relasi pribadi dengan Allah, malah mencari jalan kemudahan dari kongkalikong dengan manusia lain, atau dengan memperbodoh orang lain. Aturan agama, kalau tidak diwaspadai, bisa juga membuat galfok tadi: umat beragama jadi robot formalisme dengan klaim suci, dengan dalil suci, padahal ya cuma mencari pengakuan dari manusia lainnya.

Tuhan, mohon rahmat untuk bertobat. Amin. 


HARI RABU ABU
26 Februari 2020

Yl 2,12-18
2Kor 5,20-6,2
Mat 6,1-6.16-18

Posting 2019: Puasa Kampanye
Posting 2018: Puasa dari Valentine

Posting 2017: Come Back to Me

Posting 2016: Tobat, Bos!
 

Posting
2015: Grow up, Brow!

Posting 2014: Solidarity with The Father