Ada orang yang memakai kalung salib dan menganggap setiap kesulitan hidup atau penderitaannya adalah salib yang mesti ditanggungnya. Ini pandangan naif, karena tidak setiap kesusahan adalah salib. Bisa jadi penderitaan itu muncul akibat kebodohannya sendiri. Sebagian memakai kalung salib karena salibnya unyu-unyu atau bahannya berlian. Ada juga yang memakai kalung salib untuk menunjukkan identitas tertentu, sebagai anggota geng, anggota Gereja, anggota palang merah, dan sebagainya. Saya sendiri tidak punya kalung salib dan belum pernah memakainya. Soalnya, hidup ini rasanya sudah jadi salib itu sendiri.😂😂😂
Maka dari itu, tak perlulah takut atau alergi pada salib. Salib bukanlah barang eksklusif milik kekristenan. Itu sudah ada jauh sebelum kekristenan memakainya sebagai tanda, dan kalau kemudian itu menjadi tanda kekristenan, yang perlu dipelajari bukan menjadi kristennya, melainkan bagaimana salib itu sampai dipakai sebagai tanda oleh kekristenan. Ini tidak membuat Anda jadi Kristen, sama sekali tidak.
Secara historis bisa dipahami bahwa salib itu dipakai sebagai model hukuman mati di Persia, Mesopotamia, pesisir Afrika utara, dan kekaisaran Romawi sejak sekitar abad VI sebelum tarikh Masehi. Tak ada hubungannya dengan kekristenan. Bahwa kemudian Guru dari Nazareth mewacanakan salib, itu menunjukkan bahwa beliau ingin merefleksikan misteri kehidupan yang tak terhindar dari penderitaan, termasuk salib. Nah, perkara Guru ini kemudian disalib atau tidak, saya mengembalikan persoalannya pada kepercayaan Anda masing-masing, yang penting tak perlu mengklaim bahwa kepercayaan Anda adalah yang paling benar dan Anda pakai untuk mengukur kepercayaan yang lain. Yang jadi tolok ukur bukan kepercayaan Anda, melainkan hidup yang sinkron dengan kepercayaan Anda itu. Kata seorang Yahudi yang mengalami kamar gas pada masa Hitler,”It’s not the words that matter. Not even the facts. It only matters what, thanks to the facts and to one’s internal choices, one becomes.”
Maka dari itu, salib tidak perlu diasosiasikan dengan rumusan agama, tetapi lebih baik dipahami sebagai perspektif untuk menguak misteri kehidupan. Berkenaan dengan teks bacaan kedua hari ini, beberapa hari lalu saya tuliskan refleksi dengan judul Ilang Nyawa Loe. Kalau orang tak mau kehilangan nyawa, ironisnya, dia justru perlu menyangkal nyawanya. Nota bene: nyawa berarti mekanisme psikis yang membuat orang terhambat dalam perkembangan kedewasaannya. Celakanya, yang menghambat itu biasanya malah yang membuat orang senang atau nyaman! Itu dia sebabnya Guru dari Nazareth memberi himbauan supaya orang beriman memanggul salibnya masing-masing.
Berita melegakannya, salib yang disodorkan Guru dari Nazareth itu mengikuti narasi bacaan pertama. Ada dua jalan dipaparkan, dan Tuhan menyarankan supaya umat beriman memilih jalan kehidupan (yang memanggul salib tadi) daripada jalan kematian. Jalan kematian itu biasanya berupa shortcut pada apa saja yang tampak menyenangkan. Menariknya, Allah tak pernah memaksa orang untuk memanggul salib. Anda bebas untuk memilih takut pada salib atau berani menanggungnya. Allah menawarkan kebaikan, tetapi membiarkan manusia bebas menanggapinya. Manusialah yang justru mengklaim menawarkan kebaikan Allah dan memaksakannya pada orang lain. Cilaka ora kowé?
Tuhan, ajarilah kami menanggung penyangkalan diri dengan kebebasan hati. Amin.
KAMIS SESUDAH RABU ABU
27 Februari 2020
Posting 2019: Engkaulah Satu-satunya
Posting 2018: Tiada Agama Selain Jalan
Posting 2017: Susahnya Hidup ‘Untung’
Posting 2016: Paha(la) Bidadari?
Posting 2015: Gong Xi Fa Cai
Posting 2014: Animus cujusque is est quisque
Categories: Daily Reflection