Saya tak tahu apakah masih ada generasi Z Katolik yang berpantang dan puasa. Saya andaikan saja sebagian dari mereka berpantang dan puasa. Pengandaian yang gampang, kan? Kalau cuma ada satu yang berpantang dan puasa pun, kan sudah sebagian.
Apakah kalau tak ada lagi yang berpantang dan puasa njuk saya prihatin? Ya enggak sih.
Berarti Romo ini semacam gak peduli pada perkembangan iman generasi Z ya?
Sebaliknya, saya peduli banget, tetapi justru karena saya bukan termasuk dalam bilangan generasi Z, saya sendiri mesti mengerti benar bagaimana generasi Z ini mempersepsi pantang dan puasa; dan saya tak punya data mengenai itu. Barangkali ya pantang dan puasa tak lebih dari aturan yang dibuat untuk dilanggar, hiks hiks hiks.
Problemnya ialah bahwa dalam Gereja Katolik itu tak ada peranti hukum yang memastikan bahwa kewajiban pantang dan puasa itu terlaksana. Sekali lagi, sebagaimana dalam teks kemarin ditunjukkan: Allah menyodorkan kehidupan dan bersamaan dengannya ialah kebebasan orang sendiri untuk menerima atau menolaknya.
Alhasil, juga pantang dan puasa ini, meskipun labelnya adalah wajib bagi mereka yang berumur 18-60 tahun (untuk pantangnya mulai umur 14 ya), pada praktiknya tetaplah bersifat undangan, saran, anjuran. Umat beriman sendirilah yang mesti memutuskan apakah ia memenuhi undangan, mengikuti saran, atau mengabaikannya. Nah, di sini orang berhadapan dengan aturan atau hukum mengenai pantang dan puasa sebagai fokus layar atau panggung utama.
Padahal, dalam hidup konkret sehari-hari, sebetulnya generasi Z sendiri sudah mempraktikkan pantang dan puasa ini. Sebagian dari mereka bisa membawa bantal guling ke warnet untuk main game online tanpa makan-minum. Bukankah itu juga sebetulnya mereka sanggup dan mau berpantang dan puasa (kecuali mungkin pantang dan puasa main game onlinenya sendiri😂)? Di situ, pantang dan puasa jadi background, sebagaimana orang bermain sepak bola, aturan mainnya sudah jadi background di kepala para pemainnya sehingga mereka bisa menikmati permainan.
Bacaan hari ini kiranya meletakkan background puasa dan pantang itu: pesta mantenan bin perkawinan. Pesta identik dengan kegembiraan, tetapi jadi kecemberutan kalau orang meletakkan aturannya sebagai fokus pada foreground. Dengan demikian, pantang dan puasa bagi umat beriman, apa pun generasinya, sebetulnya adalah ungkapan harapan, hasrat akan suatu nilai atau pribadi yang lebih memuaskan dahaga dan lapar hatinya.
Nah, itu tadi yang jadi keprihatinan saya kalau generasi Z tak lagi berpantang dan puasa; bukan lagi soal tak bisa menahan lapar atau haus, melainkan soal tak lagi menemukan nilai atau makna yang ditempuhnya dengan menahan lapar atau haus itu. Kalau begitu, ini bukan cuma problem generasi Z, melainkan juga generasi sebelumnya (generasi milenial, generasi X, generasi baby boomer) dan generasi sesudahnya juga.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat menangkap makna cinta-Mu dalam hidup kami sehingga kami tetap bergembira bahkan untuk mengorbankan hal-hal lain yang kami anggap penting bagi kami sendiri. Amin.
HARI JUMAT SESUDAH RABU ABU
28 Februari 2020
Posting 2019: Kangen Lagi
Posting 2018: Pantang Internet
Posting 2017: Halo Munafik
Posting 2016: Dasar Pengemis
Posting 2015: Puasa nan Romantis
Posting 2014: How do you fast?
Categories: Daily Reflection