Setiap bahasa rupanya punya kekayaan nuansanya tersendiri. Untuk mengatakan orang tertabrak truk yang atret, misalnya, orang Jawa tidak perlu bertele-tele menjelaskan posisi orang yang tertabrak itu ada di belakang truk. Cukuplah dikatakan ‘kunduran truk’. Itu sudah jelas bahwa truknya bergerak mundur dan menabrak orang itu. Contoh lain, orang Jawa cukup mengatakan satu suku kata ‘sék‘ alih-alih ‘ntar dulu’ atau wait a minute. Pengertiannya sama. Tentu saja, orang Jawa tak bisa lebih ringkas dalam menerjemahkan kata shorter, misalnya. Setiap bahasa dan budaya punya kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Narasi teks bacaan hari ini mengisahkan panggilan Lewi, pemungut pajak yang dianggap orang Yahudi sebagai pendosa kelas kakap. Guru dari Nazareth memanggil Lewi dan dalam teks bahasa Indonesia dikatakan bahwa Lewi berdiri dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikuti Guru dari Nazareth itu. Nah, kata yang diterjemahkan dengan ‘berdiri’ itu ialah ἀναστάς. Sekali lagi, saya tak menguasai bahasa Yunani, dan memang masuk akallah kata itu diterjemahkan dengan kata ‘berdiri’ karena digambarkan sebelumnya Lewi sedang duduk. Dari duduk lalu mengikuti Guru dari Nazareth tentu ada gerak lain dong, mosok Lewi menyeret-nyeret kursinya mengikuti Guru!
Menariknya, kata yang sama itu punya nuansa yang lebih luas daripada sekadar berdiri dari tempat duduk. Kata itu bisa dipakai juga untuk menyatakan orang bangkit dari tidur (Luk 11,7), atau bahkan bangkit dari mati (Mrk 9,10). Bisa juga jadi kata yang menyingkat tindakan berdiri dan mengikuti. Wis mbohlah🤣, pokoknya kata itu bisa mengundang pembaca untuk merefleksikan tindakan yang lebih kaya daripada sekedar tadinya duduk lalu berdiri, perilaku yang juga bisa dilakukan munyuk, alamiah biologis semata.
Bacaan pertama kiranya memperkaya tafsiran terhadap kata itu dalam konteks bulan puasa juga. Di Eropa kiranya masih bermusim dingin sebelum nanti mulai musim semi. Bisa jadi, bulan puasa klop dengan musim di Eropa: bukan musim gugur, melainkan musim semi. Memang sih, tetap ada yang mesti ‘digugurkan’, tetapi itu demi sesuatu yang ‘bersemi’. Yang digugurkan adalah setiap omong kosong yang tak menghargai kebenaran dan keadilan. Yang didrop pada bulan puasa ialah fitnah dan penyalahgunaan kekuasaan. Yang dijauhi orang beriman pada masa puasa ialah penumpukan modal demi kesenangan sendiri dan abai terhadap penindasan.
Masa pantang dan puasa berarti momen khusus untuk melihat tiga jari yang menunjuk pada diri sendiri daripada satu jari yang mengarah pada gubernur banjir #ehmaapskelepasan. Semua saja diundang untuk mawas diri kalau-kalau pilihan-pilihannya, pernyataan-pernyataannya, tindakan-tindakannya tidak mengarah pada apa yang dibuat Lewi tadi: bergerak untuk mengikuti hidayah Allah. Orang yang berpantang dan puasa diundang untuk meniti kebangkitan hidupnya, kelahiran kembali, pengenaan perspektif baru yang memungkinkan dunia ini bukan lagi beban, melainkan tanggung jawab bersama seturut kewenangan yang dimilikinya. Penguasa ya mengatur, tetapi rakyat mesti berteriak kalau martabatnya diinjak-injak. Pemuka agama ya mesti menggembalakan umatnya, tetapi umat juga mesti kritis kalau pemuka agamanya malah tipu-tipu demi kepentingan tertentu.
Ya Allah, mohon rahmat kehendak kuat supaya kami sanggup mengambil tanggung jawab untuk mencintai-Mu dalam hidup bersama. Amin.
HARI SABTU SESUDAH RABU ABU
29 Februari 2020
Posting 2019: Iman Pendosa
Posting 2018: Kerendahhatian Képologis
Posting 2017: Memeluk Kerapuhan
Posting 2016: Solidaritas Pret
Posting 2015: Mending Gak Usah Beragama
Posting 2014: Tobat: Equilibrium
Categories: Daily Reflection