Gerombolan yang saya hidupi ini biasa menyebut diri sebagai gerombolan pendosa, tetapi tingkah oknumnya seperti saya ini, kerap berbeda dari klaimnya. Akan tetapi, saya tak akan membocorkannya di sini, mosok ngaku dosa lewat blog, nanti jadi go-blog dong.😂 Nota bene, tampaknya sekarang sudah mulai populer pengertian di kalangan orang Katolik bahwa istilah yang lebih tepat bukan lagi sakramen pengakuan dosa (meskipun dari dulu saya juga tidak akrab dengan istilah itu sih), melainkan sakramen tobat atau rekonsiliasi. Mengenai substansinya, saya pernah menuliskannya dalam posting Ngaku Dosa Apa Gunanya dan What do you mean by ‘conversion’?
Teks bacaan hari ini menarasikan ajakan Guru dari Nazareth kepada Lewi, seorang pemungut cukai yang tentu tidak disukai oleh seluruh warga Yahudi karena profesinya itu menguntungkan penjajah dan merugikan bangsa Yahudi. Ia dicap sebagai pendosa yang menjijikkan. Maka, kalau Guru dari Nazareth itu mengajak Lewi untuk jadi muridnya, itu sama saja bikin skandal besar. Orang beriman tidak compatible dengan pendosa! Akan tetapi, apa yang dibuat Guru dari Nazareth itu menyatakan yang sebaliknya: orang beriman masih bisa hidup dengan pendosa.
Entah untuk Guru dari Nazareth itu bermakna apa, tetapi bagi saya pernyataan itu berarti bahwa pendosa adalah tendensi yang sudah built-in dalam diri setiap orang beriman dan karena itu, wajarlah bahwa orang beriman masih bisa hidup dengan pendosa. Iya, soalnya pendosa itu ya dirinya sendiri.
Akan tetapi, kembali lagi ke awal tulisan, saya boleh bertanya, siapa sih hari gini yang sungguh-sungguh menyadari dirinya sebagai pendosa?
Untuk sebagian orang, ia mendefinisikan dirinya sebagai pendosa, tetapi pada kenyataannya ia mempertunjukkan yang sebaliknya. Apa yang dilakukannya tidak tampak kelihatan berasal dari kesadaran akan kerapuhannya. Ya itulah, para pemilik surga, yang cenderung merasa lebih baik dan benar daripada Ejaan Yang Disempurnakan #loh….
Orang yang mengaku diri sebagai pendosa, tidak berselisih dengan siapa pun mengenai kedosaannya, menyalahkan hal di luar dirinya, marah kepada yang lain, apalagi menganggap dirinya lebih baik dan benar daripada EYD tadi. Sebaliknya, pendosa yang adalah umat beriman ini malah menganggap setiap orang lainnya lebih baik dan bijaksana daripada dirinya.
Iya ya, betul juga. Kalau orang menganggap diri sebagai pendosa, mengapa malah menyalahkan orang lain? Mengapa malah menuduh orang lain sebagai penyebab kedosaannya?
Dugaan saya, di situ orang punya paham sesat mengenai kedosaan, yang cuma dikungkung dalam horison moral sebagai pelanggaran aturan (lalu lintas), hukum agama, konsensus sosial, dan sejenisnya. Untuk orang-orang seperti ini, yang kadang kala saya masuk ke dalamnya, iman tidak compatible dengan kedosaan; dan pada gilirannya cuma bisa menyingkiri pendosa, tetapi tidak menyingkiri dosanya sendiri. Artinya, betul ia pendosa, tetapi bukan pendosa yang bertobat.
Tuhan, mohon rahmat pertobatan yang kami perlukan untuk memuliakan nama-Mu. Amin.
HARI SABTU SESUDAH RABU ABU
9 Maret 2019
Posting 2018: Kerendahhatian Képologis
Posting 2017: Memeluk Kerapuhan
Posting 2016: Solidaritas Pret
Posting 2015: Mending Gak Usah Beragama
Posting 2014: Tobat: Equilibrium
Categories: Daily Reflection