Yang memungkinkan Anda bisa bernafas sampai sekarang ini ialah udara dan orang lain serta Tuhan yang membiarkannya begitu. Maka, baik-baiklah Anda dengan udara, orang lain, dan Tuhan. Tentu saja, berbaik-baik dengan udara mengacu juga pada bagaimana Anda memperlakukan pohon dan alam pada umumnya, termasuk bagaimana Anda memperlakukan orang lain. Lha, bagaimana Anda memperlakukan semua itu, jebulnya bergantung pada bagaimana Anda memperlakukan Tuhan. Celakanya, bagaimana Anda memperlakukan Tuhan juga kelihatan dari bagaimana Anda memperlakukan dua entitas (wuih apaan tuh, tahu juga tas) tadi: materi dan sesama.
Teks bacaan hari ini menarasikan apa yang terjadi dalam batin orang kalau ia sungguh berpantang dan berpuasa beneran. Pertama, ia mengalami godaan untuk memperlakukan materi sebagai tujuan lebih dari sekadar sarana. Ini bukan omong kosong. Pernahkah Anda jumpai orang yang hobi mengendus-endus udara ke sana kemari? Tentu tidak, kecuali orang itu adalah tester aroma parfum atau kentut orang lain. Udara adalah sarana supaya orang dapat hidup, dan nafas orang bekerja senyap di latar belakang (working in background). Materi tentu bukan cuma udara, melainkan juga semua yang bisa ditangkap dengan indra, termasuk makanan dan minuman. Dalam perspektif umat beriman, materi ini adalah anugerah, tetapi bisa bikin bubrah jika orang membiarkan dirinya diperbudak oleh anugerah itu.
Kedua, orang juga bisa mengalami godaan untuk membangun relasi dengan Allah sebagai kontrak bisnis. Kalau ia sudah memenuhi kewajiban, sudah sepantasnya ia mendapatkan haknya.😂😂😂 Ia lupa bahwa di hadapan Allah, ia tak punya hak secuil pun atas apa pun. Sudah mempertukarkan yang rohani dengan yang materi, masih berpikiran pula bahwa yang dilakukannya setara dengan ganjaran yang dipikirkannya sendiri: kalau aku sudah bersusah payah begini, harusnya Allah melakukan ini itu dong! Tak seorang pun dapat memberikan ultimatum atau persyaratan kepada Allah. Take it or leave it! Bahkan dalam sakratul maut, orang akhirnya mesti memilih apakah ia mau percaya kepada Allah tanpa syarat atau tetap bertegar hati menjadi Allah sendiri bagi hidupnya.
Ketiga, orang bisa mengalami godaan untuk menjadi Allah itu sendiri dengan memperlakukan orang lain sebagai objek kekuasaannya. Dengan demikian, orang lain menjadi sarana bagi kekuasaannya yang bisa manipulatif, tak lagi menjadi partner dalam relasi ‘I-thou‘, karena martabat orang lain lenyap. Maka, seluruh pola relasi orang yang jatuh dalam godaan ini senantiasa bersifat imperatif: orang lain harus begini begitu seturut apa yang kuidealkan, kuimpikan, kuinginkan.
Tiga hal itu saling terkait dan manifestasinya bisa berada di aneka macam ranah kehidupan, mulai dari yang paling sakral sampai yang paling profan. Yang profan mungkin lebih jelas dipahami, tetapi manifestasi godaan dalam ranah yang sakral bisa jadi mesti lebih ekstra waspada. Orang yang mengklaim diri sebagai hamba Tuhan, bisa jadi justru jatuh dalam godaan pertama tadi, dan itu jadi klop di tengah-tengah orang lain yang tak waspada: manut saja pada logika rohani palsu (entah klaim mantan pastorlah, entah klaim wakil Allahlah, entah ideologi kemakmuranlah) untuk mengeruk materi.
Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan supaya anugerah-Mu tak bikin bubrah hidup bersama kami. Amin.
MINGGU PRAPASKA I A/2
1 Maret 2020
Kej 2,7-9; 3,1-7
Rm 5,12-19
Mat 4,1-11
Minggu Prapaska I A/1 2017: Menghirup Nafas Allah
Minggu Prapaska I A/2 2014: Tune in to the Spirit
Categories: Daily Reflection