Pinjam Masker Dong

Anda tak harus jadi manusia jadul untuk mengerti lirik lagu Leon Russell yang juga dinyanyikan oleh Carpenters ini: Are we really happy with this lonely game we play? Looking for the right words to say; searching but not finding, understanding anyway, we’re lost in this masquerade. Nah, saya cuma ambil dua kata terakhir saja sebagai judul posting ini. Soalnya, kalau mengulas lagu berirama bossanova ini, nanti judulnya jadi ‘munafik’, lantaran keterbatasan kata yang menghambat komunikasi. Memang, itu kisah mengenai pasangan yang saling mengenakan masker, pura-pura saling mencinta, tetapi pada kenyataannya mereka tak happy dengan relasi mereka.

Jangan-jangan, begitu juga relasi Anda dengan Tuhan, karena, kalau saya pikir-pikir, sebetulnya Tuhan itu memakai masker juga, sebagaimana orang beragama mengenakannya. Percayalah, gombal amoh mereka yang mengklaim punya akses langsung kepada Allah. Sejarah menunjukkan apa akibatnya jika itu terjadi: pertumpahan darah karena sengketa lahan agama, entah kota atau desa, rebutan orang, rebutan harga diri, rebutan nama baik, dan seterusnya. Negeri ini tak kurang contohnya, bisa dirunut dari pertikaian mengenai tempat ibadat. Jangan-jangan, begitulah perilaku orang bermasker yang tak happy dengan relasi dengan Allahnya.

Bacaan pertama hari ini menyodorkan sepuluh perintah Allah yang disampaikan kepada Musa. Betulkah itu perintah Allah atau tafsiran Musa mengenai ideologi hidup bersama? Kalau memang sungguh perintah Allah yang diulangi Musa, bukankah itu tetap membutuhkan penafsiran? Perintah ‘jangan membunuh’ misalnya. Kata ‘membunuh’ sepertinya jelas, jebulnya gak juga; begitu juga mencuri, menghormati, berbohong, toleransi, dan seterusnya. Bagus sih kelihatannya, tapi bisa jadi blokade.

Lebih parahnya, dalam bacaan kedua disodorkan bahwa blokade itu bukan cuma karakter kata-kata, melainkan juga masker yang dikenakan Allah dan manusia. Bacaan ini menampilkan nuansa penghakiman terakhir yang membuka mata pembaca bahwa Allah mengidentifikasi Diri sebagai kaum miskin, kecil, terpenjara, terkucil, lemah, minoritas, dan seterusnya. Manusia yang tak berbuat apa pun bagi kaum lemah ini, tak berbuat apa pun bagi Allah. Blaik…berarti orang mesti berbuat sesuatu bagi kaum lemah dong!
Betul, tetapi tak bisa dibakukan sebagai filantropi, misalnya. Filantropi itu apa toh, Rom? Anda sukses luar biasa (entah bagaimana caranya) dan kekayaan Anda yang lebih unggul dari kekayaan 2/3 warga dunia lainnya itu Anda salurkan untuk membantu orang lain.

Dengan begitu, Anda mempersaksikan model hidup tertentu: kaya dulu, baru membantu orang miskin. Bukankah kekayaan adalah sarana? Betul, tetapi itu bisa jadi masker, yang justru membuat orang tak happy dengan kondisi real timenya: belum bisa berguna bagi orang lain, belum kaya, belum sukses, dan seterusnya.

Kalau begitu, kuncinya ialah bahwa orang happy dengan kondisi real timenya, yang tak lain merupakan keadaan hidup bersama Allah tanpa masker. Orang beriman mesti membongkar maskernya. Barangkali orang perlu meminjam masker Allah untuk happy dengan kondisi real timenya, supaya orang bisa fokus untuk do what you do, bukan mens sana in corpore sini (pikiran di sana, badannya di sini). Loh, bukannya orang mesti punya visi ke depan, Rom? Ya, tetapi visi itu mesti connect dengan fisik juga.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat memandang dunia sebagaimana Engkau memandangnya. Amin.


HARI SENIN PRAPASKA I
2 Maret 2020

Im 19,1-2.11-18
Mat 25,31-46

Posting 2019: Mau Kiamat?
Posting 2018: Sacred Proxy War

Posting 2017: Menghembuskan Nafas Allah
Posting 2016: Robohnya Kapel Kami

Posting
2015: Mau Jadi Kambing atawa Domba?

Posting 2014: Altar dan Pasar: Connected!