Mau Kiamat?

Entah mengapa wacana kiamat dengan berbagai rumusannya itu menarik orang sejak zaman Yesus sampai sekarang. Praduga saya sih belum berubah: kalau orang tak tahu apa yang mesti dilakukannya di dunia sini seturut kehendak Allah (saking stresnya karena ketidakterdugaan kuasa Allah, misalnya), alias jika orang tak mengerti bagaimana beriman di dunia sini, orang lebih diyakinkan untuk berwacana mengenai hidup di sana setelah kiamat dan dengan demikian, apa saja yang berbau kiamat itu malah jadi titik acuan.

Di meja ruang rekreasi kami, sekitar sewindu yang lalu, ada fotokopian buku yang kira-kira berjudul Buku Kebenaran. Tak saya temukan penulisnya selain atribut suci. Isinya soal perkataan-perkataan Bunda Maria yang langsung disampaikan kepada penulisnya. Klaim itu dengan sendirinya meruntuhkan kredibilitas buku di mata saya, tetapi barangkali tidak untuk ribuan atau bahkan puluhan ribu orang lainnya. Ndelalahnya, belakangan saya membaca blog National Chatolic Register yang menyinggung tulisan seperti itu. Tautannya ada di sini.

Teks hari ini juga menyinggung soal kiamat, tetapi bukan kiamatnya sendiri yang jadi fokus perhatian, melainkan bagaimana orang beriman semestinya hidup di dunia sini tanpa terputus dari dunia sana. Apakah koneksinya itu dengan melakukan hal-hal seperti disebutkan dalam teks hari ini: memberi makan kepada orang lapar, minum kepada orang haus, kunjungan kepada orang yang dipenjara, dan seterusnya? Bisa jadi, tetapi bukan karena perbuatannya itu sendiri orang beriman di sini tersambung dengan dunia sana, melainkan karena motif penggeraknya, ketaatan kepada kehendak Allah yang sesungguhnya.

Di mana nalarnya?
Sederhana saja, kata kakak kelas saya. Kalau orang habis melakukan aborsi, bisakah kekeliruannya itu ditebus dengan memberi makan kepada gelandangan? Kalau orang menghancurkan keluarga orang lain, cukupkah itu ditebus dengan memberi minum kepada yang kehausan?
Saya yakin tidak. Karya amal kasih itu bermakna jika diberi konteks relasi dengan Dia yang menentukan kiamat dan segala konsekuensinya, bukan konteks politik, bahkan bukan pula konteks agama yang direduksi sebagai kumpulan kebiasaan, kewajiban, dan seterusnya. Cobalah cari mungkin dengan mudah Anda temukan orang, bisa jadi kita sendiri, yang begitu kikirnya terhadap karyawannya tetapi kalau terhadap romonya murah hatinya setengah mati. Tidak jarang dijumpai orang yang tidak mudah memberikan hartanya untuk pembangunan infrastruktur dan bahkan nyinyir sekali terhadap infrastruktur, tetapi dengan begitu mudahnya jor-joran untuk pembangunan kapel adorasi, tempat ibadat, dan sejenisnya.

Itu adalah contoh keterpecahan hidup orang. Di satu pihak ingin menyambungkan dunia sini dengan dunia sana, tetapi, di lain pihak, praktiknya malah memisahkan dunia sini dari dunia sana. Maklum, orang lebih peduli dengan kiamat daripada niatan untuk memajukan kualitas hidup bersama, dan jadinya, sampai kiamat pun orang seperti ini malah tidak pernah sungguh-sungguh berbuat amal kasih dan kalau berbuat amal kasih pun, tidak berangkat dari relasi personal dengan Pribadi Allah, tetapi dari aneka desakan dari luar dirinya, yang bisa sangat politis, bahkan meskipun kepadanya ditambahkan embel-embel religius dan sejenisnya.

Tuhan, bantulah kami untuk taat kepada kehendak-Mu, yang senantiasa kami cari bersama-sama dari waktu ke waktu. Amin.


HARI SENIN PRAPASKA I
11 Maret 2019

Im 19,1-2.11-18
Mat 25,31-46

Posting 2018: Sacred Proxy War
Posting 2017: Menghembuskan Nafas Allah
Posting 2016: Robohnya Kapel Kami

Posting
2015: Mau Jadi Kambing atawa Domba?

Posting 2014: Altar dan Pasar: Connected!