Rahmat Si Pengampun

Turunkah harga diri orang ketika ia mengampuni kesalahan yang dilakukan orang lain secara membabi buta? Kelihatannya iya, seakan orang pengampun ini tergolong submisif, pesimis, tak punya standar, dan barangkali takut. Akan tetapi, di hadapan teks bacaan hari ini, penilaian itu tak relevan, juga pertanyaan Petrus mengenai berapa kali orang harus mengampuni jadi lebay karena orang tak perlu menghitung-hitung berapa kali orang lain bersalah atau berapa kali ia harus mengampuni.

Sepertinya saya pernah mengatakan bahwa pengampunan tidak pertama-tama demi orang yang melakukan kesalahan, tetapi demi orang yang memberi pengampunan. Mungkin ada dalam posting Ampun Ya Ampun. Kalau orang beragama sungguh menggandeng Allah dalam hidupnya, dalam perspektif Kristiani: kooperatif dengan Yesus Kristus, pengampunan benar-benar unlimited dan unconditional.
Apa gak malah lebay sih, Rom? Bukankah orang itu punya batas kesabaran? Punya batas toleransi?
Lah, kok malah jadi kayak obat, pakai toleransi segala? Apa bukannya kalau orang omong soal toleransi, berarti dia mengklaim punya tolok ukur dan ngampet kesabaran dan kemarahan? Bukannya kalau begitu malah orang menyimpan risiko stroke atau serangan jantung atau penyakit psikis?

Persis di situlah letak relevansi pengampunan. Pertama, kalau orang sendiri punya keinginan untuk diampuni, ia mengandaikan bahwa ada orang yang mau mengampuni. Dari situ muncul kewajiban moral untuk mengampuni: kalau tak mau kecurian, ya jangan mencuri; kalau mau diampuni, ya ampunilah!
Kedua, pengampunan tidak mengubah fakta, tetapi membantu orang untuk menerima fakta, kejadian yang telah usai. Maka dari itu, jika orang tak mau mengampuni, sulitlah baginya menerima peristiwa masa lalu yang tak bisa lagi diubahnya.

Dengan demikian, tidak benarlah bahwa pengampunan tanpa batas itu membuat orang jadi bulan-bulanan pelaku kejahatan. Justru kalau orang punya pengampunan tanpa batas, setiap saat berhadapan dengan kesalahan atau kejahatan, ia dengan segera bisa move on, tak berlama-lama dengan aneka pertanyaan yang tak bisa juga mengubah alur hidupnya: mengapa saya, bukankah seharusnya dia yang bla bla bla, sampai kapan saya harus menanggungnya, mengapa dia tak juga mau mengerti?

Dengan kapasitas pengampunan, orang beriman lebih terbantu memandang ke depan, memilih tindakan atau langkah yang perlu diambil, tanpa dibebani oleh aneka gerutu dan beban hidup. Akan tetapi, kapasitas pengampunan tanpa batas ini memang bukan kemampuan manusiawi semata. Ini adalah kualitas ilahi, rahmat, yang tak bisa tidak, perlu dimohon dari Dia yang telah lebih dahulu mengampuni dosa manusia yang tak jelas juntrungannya. Maka tak mengherankan bahwa Guru dari Nazareth mengajarkan doa yang mendorong orang untuk mohon pengampunan dari Allah, yang secara psikis juga ‘menuntutnya’ untuk mengampuni orang lain. Pengampunan seperti ini menempatkan manusia secara kolektif yang membutuhkan pengampunan, sehingga bisa jadi orang mesti memodifikasi doa Guru dari Nazareth: bukan lagi ampunilah dia karena dia tak tahu apa yang dia perbuat, melainkan ampunilah kami karena kami tak tahu apa yang kami perbuat.

Tuhan, mohon rahmat pengampunan-Mu supaya kami semakin mengerti besarnya cinta-Mu lebih daripada kekuatan kami yang cenderung rapuh. Amin.


HARI SELASA PRAPASKA I
12 Maret 2019

Yes 55,10-11
Mat 6,7-15

Posting Tahun 2018: Malu Beragama?
Posting Tahun 2017: Doa Nonsense

Posting Tahun 2016: Sumur Resapan Doa

Posting
 Tahun 2015: The Power of Prayer

Posting Tahun 2014: Lord’s Prayer: Principle and Foundation