Kalau Anda punya waktu untuk menyaksikan rekaman salah satu talk show mengenai pendeta jalanan, kiranya Anda bisa menontonnya pada link ini, atau kalau mau melihat rekaman pegiat sosial pada acara yang sama bisa klik link ini. Kisah tokoh-tokoh tersebut ialah contoh bagaimana menghembuskan nafas Allah setelah memeluk kerapuhan dan menghirup nafas Allah. Kapan mereka memeluk kerapuhan? Pada momen kritis menjelang hidup mereka ditransformasi oleh Allah, saat mereka melihat dengan jujur apa yang terjadi pada diri mereka dan kemudian mengatakan,”Bukan hidup macam itu yang ingin kupertahankan.”
Kapan mereka menghembuskan nafas Allah? Saat mereka membangun dunia baru, dunia yang ditransformasi oleh bela rasa Allah sendiri. Yang dibuat pendeta jalanan dan pegiat sosial itu hanyalah salah dua wujud transformasi Allah yang compassionate itu. Poin pentingnya bukan wujud atau hasil transformasinya, yaitu aneka tindakan karitatif itu (betapapun menyentuh hati), melainkan bagaimana transformasi itu, bagaimana orang mengalami suatu hidayah yang menggerakkannya untuk melakukan tindakan karitatif. Dengan kata lain, lagi-lagi ini adalah soal kerohanian, kesucian manusia yang hidupnya berdimensi horisontal dan vertikal.
Dari salah satu talk show itu saya tertarik pada bagaimana pendeta jalanan terharu melihat kembali pribadi-pribadi yang dilayaninya: hati Allah ada pada orang-orang miskin, orang-orang yang terpinggirkan [yang kemudian diberinya catatan bahwa mereka sakit dengan label ‘kaum marjinal’]. Kalau saya host acara itu dan isengnya kumat, pasti saya tanya: memangnya hati Allah gak ada pada orang-orang kaya? Hahaha…. Tapi host talk show itu lebih bijak dari saya, mungkin karena isengnya gak kumat; ia ambil shortcut menyimpulkan bahwa pendeta itu memilih untuk melayani orang-orang kecil, dan di situlah pokok perbincangan menyoal panggilan Tuhan.
Pada saat orang menjalani hidupnya, apapun itu, sebagai panggilan Tuhan, ia menghembuskan nafas Allah; dan hembusan nafas Allah ini tidak dikoar-koarkan dengan klaim verbal, tetapi disalurkan dengan pilihan hidup yang memberi dampak baik pada kualitas hidup baik diri sendiri maupun orang lain. Itu mengapa secara intuitif host acara talk show itu tak menggali lebih jauh bagaimana panggilan Tuhan dialami oleh pendeta jalanan itu atau pegiat sosial itu mendapatkan hidayahnya. Ini bukan acara kesaksian atau dakwah (meskipun ya secara tidak langsung punya unsur itu ya, tetapi jelas setidaknya bukan untuk menggelembungkan agama).
Bacaan hari ini mengingatkan pembaca bagaimana Tuhan mengidentifikasikan diri-Nya pada orang yang membutuhkan “bela rasa” supaya orang beriman bisa merealisasikan Allah yang berbela rasa itu. Tentu saja persoalannya bukan orang miskin itu adalah Allah karena Allah mengidentifikasikan diri dengan orang miskin. Ungkapan pendeta jalanan “Hati Allah ada pada orang miskin” tentu tidak berarti Allah tidak ada pada orang kaya. Ungkapan itu berarti bahwa orang-orang yang percaya kepada Allah menyatakan belas kasih Allah itu supaya tak ada lagi yang terpinggirkan, entah dengan cara sporadis dengan tindakan karitatif maupun melalui jalur struktural, sesuai dengan panggilan nurani setiap orang beriman.
Ya Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi supaya kami mampu menghembuskan nafas-Mu. Amin.
HARI SENIN PRAPASKA I
6 Maret 2017
Posting 2016: Robohnya Kapel Kami
Posting 2015: Mau Jadi Kambing atawa Domba?
Posting 2014: Altar dan Pasar: Connected!
Categories: Daily Reflection