Saya yakin Anda pernah dengar istilah proxy war atau perang proksi. Menurut KBBI daring, proksi adalah “pihak lain yang oleh seorang pemegang saham ditunjuk dan diberi wewenang untuk mewakilinya dan untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan atau diminta dalam rapat umum pemegang saham”. Karena ini bukan blog ekonomi atau teknologi atau analisis pertahanan, saya perkenalkan istilah Jawa saja: nabok nyilih tangan. Ini ungkapan yang sudah bernuansa peyoratif: melakukan tindakan jelek dengan menyuruh orang lain. Prinsip kerjanya sama dengan proxy war tadi. Barangkali kata itu bisa dipakai untuk mengerti teks bacaan hari ini. Kok bisa ya?
Mari kembali ke peristiwa tetangga kamar saya yang belakangan ini jadi pergunjingan alias buah bibir banyak orang karena membiarkan kepalanya disabet pedang oleh seseorang yang kebelet menikah dengan bidadari. Perhatian kita berikan bukan kepada tetangga kamar saya [yang sudah mendapat banyak karangan bunga dan buah-buahan serta aneka makanan lain dan saya kecipratan rejeki nomplok itu di atas penderitaannya], melainkan anak muda yang kebelet itu.
Ia pastilah belum pernah mendengar wejangan Mother Teresa: We all sigh for the heaven where God is, yet we have the possibility to be in heaven from this moment on [Shania Twain?], to be happy with God at this very moment. Being happy with God in this very moment means loving as God loves, helping as God helps, giving as God gives, serving as God serves, saving as God saves, staying with God twenty-four hours a day, touching God under the guise of suffering.
Bagi yang kesulitan berbahasa Inggris, kalimat itu berbunyi: yang konkret-konkret sajalah!
Lha apa anak muda yang kebelet itu tadi gak konkret? Bukankah dia realistis mau menikah dengan bidadari? Bukankah memang itu yang didambakannya? Betul, dambaannya konkret, tetapi objek dambaannya itu tidak.
Itu mah bergantung kepercayaan Romo aja.
Loh, saya juga percaya ada bidadari kok, tetapi bidadari itu kan tak perlu dimengerti sebagai makhluk yang adanya di balik kematian. Kalau tak percaya, silakan tanya Al Ghazali yang “baru mengerti artinya bidadari sejak jumpa kamu di sini”, eaaaaaa.
Sulit bagi saya untuk mengatakan anak muda yang kebelet married dengan bidadari tadi itu tadi menjadi agen sacred proxy war. Kalau orang mau jadi instrumen sacred proxy war, ia justru mesti kontak dengan realitas hidupnya sendiri dan menanggapi realitas itu sebagaimana kiranya Tuhan juga akan menanggapi realitas itu. Susah kan membayangkan sosok Allah yang bertindak tidak adil, menindas orang miskin, mengabaikan orang yang dipenjara, dan malah membabati orang yang berniat baik hendak connect dengan Tuhan sendiri?
Kalau mau ikut dalam sacred proxy war, di hadapan pilihan untuk bertindak, ia mesti menjawab pertanyaan khas; bukan apa yang kuinginkan, melainkan apa yang kiranya dilakukan Allah yang maharahim dalam situasi konkret ini. Ia seakan-akan absen, tetapi Ia melakukan sacred proxy war, dan itu akan bergantung pada pilihan-pilihan konkret orang yang mengklaim percaya kepada-Nya.
Ya Allah, mohon rahmat kerahiman-Mu supaya kami dapat menjadi instrumen-Mu lebih daripada kebelet-kebelet kami. Amin.
HARI SENIN PRAPASKA I
19 Februari 2018
Posting 2017: Menghembuskan Nafas Allah
Posting 2016: Robohnya Kapel Kami
Posting 2015: Mau Jadi Kambing atawa Domba?
Posting 2014: Altar dan Pasar: Connected!
Categories: Daily Reflection