Saya kira cuma mentalitas orang Indonesia yang panik begitu virus corona singgah di bumi pertiwi ini dan supermarket diserbu pengunjung yang hendak menumpuk barang kebutuhan di rumah. Jebulnya, itu terjadi juga di mancanegara. Berarti, kepanikan tidak melekat pada geografi tertentu, tetapi pada hewan, juga yang berakal budi.
Kalau suatu kota diisolasi dan warganya harus berdiam diri di rumah masing-masing, akal budi saya masih bisa menangkap kewajaran orang berpikir untuk menumpuk barang kebutuhan di rumahnya. Tentu, asumsinya negara masa bodoh terhadap nasib warganya. Akan tetapi, kalau dari sekian ratus juta penduduk dua orang positif tertular Covid-19, hanjuk kenapa kepanikan mesti diperbesar dengan menyerbu warung dan toko untuk mengumpulkan barang kebutuhan sendiri? Di mana roh gotong royong yang (dulu) diagung-agungkan itu?
Teks bacaan hari ini memang tidak bicara baik mengenai Covid-19 maupun panic buying, tetapi memberi inspirasi kepada orang beriman untuk memberantas ketakutan di kepala dengan membenahi relasi dengan Allah dan sesama. Tak usah bertele-tele dengan doa. Kalau doa itu maksudnya ialah ungkapan harapan kepada sosok Allah, si pendoa mesti sadar bahwa Allah adalah Tuhan sembahan Abraham, Ishak, dan Yakub. Maksudnya, Allah adalah Tuhan bagi semua orang, dan tak perlu mempersoalkan tiga nama itu [wong ya ketiganya bukan nenek moyang seluruh bangsa manusia, apalagi mereka cowok semua]. Lha, kalau Dia sembahan semua bangsa, bukankah Dia berperilaku adil terhadap semua bangsa itu?
Ironisnya, juga kaum monoteis tidak selalu menunjukkan hal itu. Klaimnya ya menyembah satu Allah, tetapi masih berpikir sektarian, masih memegang ilusi mayoritas-minoritas, masih meyakini diri pemegang kebenaran mutlak, masih merasa lebih berhak selamat daripada yang lainnya, dan seterusnya.
Doa yang diajarkan dalam teks bacaan hari ini menghancurkan sekat yang dibangun di kepala orang beragama: kalau Allah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, Dia mestilah Allah yang memberi rezeki kepada semua. Alhasil, tak ada kamusnya “aku lebih berhak” dan “menumpuk rezeki untuk masa depan”.
Doa itu menggelitik orang untuk memohon rezeki bagi semua (diri sendiri otomatis termasuk di dalamnya) dan cukup untuk kebutuhan ‘hari ini’. Apakah Allah mengabulkannya? Pastilah. Tetapi mengapa di sana-sini terjadi kekurangan, kemiskinan, penindasan? Ya karena agen-agen Allah itu jadi koruptor dan abai terhadap tanggung jawab yang diembannya. Siapa agen-agen Allah itu? Ya semua orang dalam kapasitasnya masing-masing: yang paling berpengaruh ialah mereka yang menempati pos pelayanan publik, negara.
Maka dari itu, panic buying justru menginsinuasikan bahwa pelakunya tak menaruh harapan pada Allah, selain kurang punya trust kepada mereka yang punya wewenang untuk menata hidup bersama. Alih-alih ikut-ikutan melakukan panic buying, orang beriman malah sebetulnya perlu mengawasi kinerja pemerintah untuk merealisasikan sosok Allah yang memberi rezeki cukup bagi semua. Begitulah semangat yang disodorkan doa yang diajarkan Guru dari Nazareth hari ini. Semua diundang untuk memandang hidup dengan perspektif “kami” di hadapan Allah YME.
Tuhan, ampunilah kami yang kurang mengandalkan kuasa-Mu dan malah lebih memupuk ketakutan kami pada kerasnya hidup. Amin.
HARI SELASA PRAPASKA I
3 Maret 2020
Posting Tahun 2019: Rahmat Si Pengampun
Posting Tahun 2018: Malu Beragama?
Posting Tahun 2017: Doa Nonsense
Posting Tahun 2016: Sumur Resapan Doa
Posting Tahun 2015: The Power of Prayer
Posting Tahun 2014: Lord’s Prayer: Principle and Foundation
Categories: Daily Reflection