Pasti Tak Pasti

Tendensi orang beragama memang mencari kepastian, tetapi orang beriman memberi tempat pada ketidakpastian. Maka dari itu, bagi orang beragama tanda menjadi sangat penting. Bagi orang beriman, tanda juga penting, tetapi tak akan lebih penting dari apa yang dapat ditandakannya. Itu juga mengapa kebodohan menyerang orang beragama: klaimnya memasrahkan hidupnya kepada Allah, percaya hidup akhirat dan para nabi-Nya, tetapi waktu dihabiskannya untuk memastikan jaminan hidup fana, juga dengan ideologi agama sendiri. Abstrak?

Tiliklah di sekeliling Anda, pasti ada tanda kebodohan macam itu: Allah diabaikan, agama dibela mati-matian. Agama dikesampingkan, ormas agama dipromosikan. Barangkali Anda sendiri melakukan hal serupa: memastikan bahwa Allah begini atau begitu, mengklaim bahwa Allah tidak mungkin begini atau begitu, tanpa sadar konteks hidup yang Anda hidupi sendiri.
Masih abstrak?

Kembali ke narasi teks bacaan pertama saja. Di situ digambarkan sosok Allah dengan gaya antropomorfis, seakan-akan Allah memiliki ciri manusia yang bertubuh: Allah menyesal atas rancangannya. Tentu saja, yang dinarasikan di situ ialah bahwa orang-orang Ninive bertobat. Memang pertobatan mereka juga tidak bisa diletakkan dalam konteks kedewasaan iman, tetapi baiklah ditilik ungkapan yang dipakai di situ,”Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa.”

Poin pentingnya ialah mereka bertobat, perkara Allah akan menyesal dan membatalkan hukuman, itu cuma diberi keterangan modalitas “siapa tahu” bin mungkin. Persis itulah ranah iman: lebih fokus pada pertobatannya sendiri, bukan pada target atau hasil akhir yang hendak dituju dari pertobatan itu. Dengan begitu, mereka menunjukkan kepasrahan: mengakui kejahatan dan kesalahan, bertobat, dan hasilnya tinggal tunggu juga bagaimana Allah bereaksi atas buah pertobatan mereka. Allah membatalkan kutuk-Nya, fine; tetapi kalau Allah tak membatalkannya, bukankah itu juga cuma membiarkan akibat kejahatan manusia sendiri? 

Guru dari Nazareth tak memberi tanda kepada orang-orang di sekelilingnya, bukan karena ia tak punya tanda, melainkan karena tanda itu hanya bisa dilihat dalam relasi komunikatif, bukan relasi kekuasaan.
Bukankah juga terhadap Allah, orang bisa bersikap seperti mereka yang menuntut tanda dari Guru ini: “Kalau Engkau ada, ya Allah, buatlah ini itu”? Kalau Engkau benar mencintaiku, sembuhkanlah aku! Kalau Engkau sungguh mahamurah, sediakanlah masker bagiku!

Lagi, tendensi orang beragama memang mencari kepastian. Kepastian itu pada dirinya tidak jelek. Dalam batas tertentu, kepastian perlu dicari, tetapi karena lingkupnya terhubung dengan Allah, sudah sewajarnya kepastiannya tak dimutlakkan. Jika orang mulai memutlakkan sesuatu, bisa jadi yang dibangunnya bukan lagi relasi komunikatif komunitas pencari Allah, melainkan relasi kekuasaan. Nah, kalau sudah masuk ke ranah kekuasaan, iman perlahan-lahan digeser, dan Allah pun ditundukkan oleh ideologi agama atau bahkan ormasnya.

Kekeliruan generasi Guru dari Nazareth bukan bahwa mereka meminta tanda, melainkan bahwa mereka meminta tanda untuk menegaskan kekuasaan mereka sendiri: kalau kamu utusan Allah, ya kamu harus tunduk pada kriteriaku dong. Hanjuk Tuhannya siapa di situ? Alih-alih membangun relasi komunikatif, mereka mendesakkan relasi kekuasaan.

Tuhan, mohon rahmat untuk membangun relasi komunikatif dengan-Mu dan sesama. Amin.


HARI RABU PRAPASKA I
4 Maret 2020

Yun 3,1-10
Luk 11,29-32

Posting 2019: Maafkan Hoaks
Posting 2018: Jalan (Gagal) Pulang

Posting 2017: The Power of Emak

Posting 2016: Apa Guna Posesif?

Posting
2015: Belajar Tobat dari Orang Lain

Posting 2014: Repentance: Fusion of Horizons