Kalau Anda jatuh cinta, ibaratnya seperti pensil, jangan menggenggamnya terlalu erat, karena bakal capek, eaaaa…. [Kirain bakal dapat kata-kata bijak.] Begitu pula kalau Anda beragama, janganlah terlalu konservatif atau progresif, karena bakal jadi naif. Jadilah moderat seturut pepatah The Truth lies somewhere in the middle atau Veritas in medio stat atau mungkin ngono ya ngono ning aja ngono. Tapi apa bisa ya orang menentukan dirinya sendiri moderat (karena akhirnya moderat itu cuma berarti upaya untuk menemukan yang tidak terlalu konservatif dan tidak terlalu progresif)? Paling-paling ia cuma bisa berniat dan dan berusaha untuk jadi moderat.
Baru-baru ini diproduksi sebuah film yang menuturkan kisah orang yang terlibat dalam terorisme. Judulnya “Jalan Pulang”. Yang pantas diapresiasi di situ ialah bahwa salah satu produsernya adalah mantan napi terorisme yang rupanya menemukan ‘jalan pulang’ dari tanah ekstremisme. Saya cuma punya tautan trailernya.
Dari sekian puluh mantan aktivis terorisme yang diwawancarai oleh tetangga saya, diperoleh kesan bahwa yang mendorong mereka untuk menarik diri dari terorisme seturut intensitasnya ialah: (1) kalkulasi keuntungan masa depan hidup mereka, (2) perubahan prioritas hidup, (3) kekecewaan pada taktik dan pimpinan gerakan, (4) relasi baru dengan orang di luar lingkaran eksklusif gerakan teror, dan (5) tekanan dari keluarga.
Kalau dinalar-nalar ya betul juga: apa untungnya sih melakukan terorisme, jadi presiden gitu po? Mau bertahan berapa lama juga, anak istri bagaimana, belum lagi kalau pimpinannya gak jelas apalagi tipu-tipu. Ternyata, sebetulnya pelaku terorisme adalah manusia biasa yang punya kekhawatiran hidup dan barangkali ketakutan untuk hidup juga, dan syukurlah bahwa orang-orang yang dicap sebagai aktivis radikalisme itu punya peluang untuk bertobat, menemukan jalan pulangnya sendiri.
Sepertinya yang begitu itu lebih mengharukan, dalam arti meneguhkan orang untuk menemukan jalan pulang kepada Allah, daripada generasi yang dikritik oleh guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini. Generasi macam apakah itu? Ya generasi yang bahkan untuk menalar lima faktor tadi begitu susah dan maunya mencari bukti dan tanda hitam putih bahwa si guru sungguh-sungguh utusan Allah.
Celakanya, si guru itu tidak menyodorkan dalih untuk sebentar mencari wangsit dan menentukan tanggal mainnya, hahaha. Ia malah tegas mengatakan tak akan memberikan tanda selain kisah Yunus. Sang guru memberikan seluruh hidupnya sebagai tanda, tetapi orang bebal ya bebal, tak mau terbuka pada hidup orang lain yang menandakan kerahiman Allah sendiri.
Maka betul juga itu usulan tokoh PK dalam film PK: Jika kau bertemu dengan orang yang bilang bisa bicara dengan Tuhan, tak usah pikir panjang, bergegaslah dan lari sekencang-kencangnya…
Bicara dengan Tuhan hanya bisa diverifikasi dengan buah kehidupan yang dibawanya. Begitu pula doa, baru bisa dibilang sungguh doa kalau membawa buah-buah roh kehidupan, damai, pengampunan, dan seterusnya; bukan show off, bukan tanggal cantik, bukan duit, bukan kuasa, dan seterusnya.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami terbuka pada tanda-tanda zaman yang membantu jiwa kami senantiasa berpulang kepada-Mu. Amin.
HARI RABU PRAPASKA I
21 Februari 2018
Posting 2017: The Power of Emak
Posting 2016: Apa Guna Posesif?
Posting 2015: Belajar Tobat dari Orang Lain
Posting 2014: Repentance: Fusion of Horizons
Categories: Daily Reflection