Identitas

Melakukan kesalahan bukanlah suatu kesalahan, karena katanya to error is human. Baru kalau mentang-mentang humannjuk orang merencanakan to error, itu namanya njarak, sengaja melakukan kesalahan. Ini jahat. Tak mengherankan bahwa hukuman kesalahan terencana ini lebih berat. Lebih parah lagi, mirip dengan yang disinggung bacaan hari ini: orang sudah melakukan kejahatan, tidak mengakui atau tidak tahu bahwa yang dilakukannya itu jahat.

Sebetulnya teks bacaan hari ini tidak menyinggung kejahatan sih. Bahkan, Yesus terkesan emoh membahas label-label moral begitu. Sewaktu murid-muridnya bertanya soal siapa yang bersalah/berdosa sehingga mengakibatkan orang buta sejak lahir, blio tidak menggubrisnya. Menurut blio, kebutaan dari lahir itu mirip dengan sunnatullah, bagian ketentuan Allah untuk ciptaannya, dengan hukum sebab akibatnya. Tentu, sunnatullah yang berkenaan dengan manusia punya elemen lain karena orang punya roh dan jiwa. Akan tetapi, apa ada orang yang menginginkan anak buta sejak lahir?

Alih-alih bahas soal label bikinan manusia soal dosa dan salah siapa, Guru dari Nazareth berfokus pada kemuliaan Allah dan blio langsung kasih contoh: meludah untuk bikin adonan dari tanah dan mengoleskannya ke mata orang buta itu. Inisiatif tidak datang dari si buta, tetapi dari Yesus sendiri dan…. voila, jelas-jelas tindakan Yesus itu menebar konflik kepada orang-orang yang mengincarnya: yaitu orang-orang yang punya kepentingan status quo. Nota bene, orang-orang macam gini pasti bersekongkol; meskipun mungkin mereka punya perbedaan partai, mereka bisa bikin kompromi sedemikian rupa untuk sama-sama cari selamat dengan membangun kekuatan untuk melawan mereka yang bikin gerah terhadap status quo. Menjelang tahun politik, itu bakal lebih kentar lagi.

Nah, kok ya ndelalahnya kemarin saya baca ada yang bilang bahwa politik identitas itu tak terhindarkan. Asem tenan. Kalau balik ke awal tulisan, orang ini mungkin sedang njarak atau bahkan njahat dan gak merasa bahwa yang dilakukannya jahat!
Tapi, bisa juga sih orang tak tahu jahatnya politik identitas, apalagi di kalangan orang yang mabuk agama, kelompok paling lezat untuk dimobilisasi sebagai kekuatan politik. Orang seperti ini, tidak harus awam, bisa juga malah pemuka agama, menganggap bahwa politik identitas itu sesuatu yang baik. Ya jelas dong, mosok menunjukkan identitas diri sebagai orang Katolik, Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan seterusnya itu jelek? Bukankah orang mesti bangga memeluk agamanya? Jadi, sah-sah saja dong orang menerapkan politik identitas!

Sebagaimana sunnatullah tidak bisa begitu saja diidentikkan dengan hukum alam (karena di dalamnya ada juga manusia yang tak cuma punya hukum sebab akibat), politik identitas bukan semata perkara menunjukkan identitas, melainkan soal menentukan tindakan dengan tolok ukur kepentingan identitas. Gampangnya, kalau ada orang kecelakaan, mereka yang berpolitik identitas ini akan bereaksi kurang lebih begini,”Apa dulu nih agamanya. Kalau beda atau malah gak beragama, ya sukurin, biarin aja.” Hidupnya penuh persaingan dengan legitimasi ‘berlomba dalam kebaikan,’ tanpa sadar bahwa yang diperjuangkannya bukanlah kebaikan bagi semua, melainkan bagi kelompok penguasa.
Di situ, sebetulnya politik identitas ini tidak konsisten: mengklaim agamanya bersifat universal, tetapi hanya berlaku untuk mereka yang memeluknya. Jadi, gimana toh maksudnya? Universal tapi hanya untuk kelompok partikular!

Yesus ini sebetulnya mau meletakkan sunnatullah demi memuliakan Allah yang berbela rasa pada manusia yang menanggung aneka kelemahan. Hanya saja, lawan-lawannya semata melihatnya sebagai pelanggaran hukum hari Sabat, yang detail pelaksanaannya sama sekali bukan bikinan Allah! Manusia sendiri yang bikin, tetapi diuniversalkan, seakan-akan itulah yang diinginkan Allah bagi semua orang di mana saja kapan pun bagaimana pun. Tapi ya itu tadi, namanya juga politik identitas, maunya menguniversalkan identitas. Patokannya bukan lagi kenyataan hidup, melainkan ideologinya sendiri. 

Kisah hari ini menunjukkan bagaimana orang yang mengalami pencerahan, hidup baru, mesti menanggung kesulitan sendirian karena berhadapan dengan mereka  yang memanfaatkan politik identitas. Sewaktu dicecar dengan aneka pertanyaan pemuka agama, dia keukeuh untuk berpatokan pada kenyataan hidupnya: tadinya buta, sekarang melihat.  Kalau orang menuduh bahwa orang yang membuat matanya sembuh itu sebagai pengacau yang tidak mungkin datang dari Allah, itu malah aneh. Sampai saat itu bahkan belum ada nabi yang melakukan penyembuhan seperti itu, dan kalau tradisi mengatakan bahwa hanya orang yang datang dari Allah, yang hidupnya sejalan dengan kehendak Allah, yang doanya didengarkan Allah; bukankah orang ini semestinya memang orang yang datang dari Allah?

Tradisi religius bahkan mesti ditantang oleh kenyataan hidup dan hanya jika responsif terhadap tantangan itu, tradisi itu tak lekang waktu lantaran identitasnya juga mengalami transformasi. Tapi memang transformasi itu kerap bikin tak nyaman sih.

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk membangun identitas sebagai hamba cinta-Mu. Amin.  


MINGGU PRAPASKA IV A/1
19 Maret 2023

1Sam 16,1.6-7.10-13
Ef 5,8-14
Yoh 9,1-41

Posting 2020: First Things First
Posting 2017: From Heart with Love

Posting 2014: The Primacy of the Heart
*