Harapan

Pengalaman ditinggal memang tidak mengenakkan; apalagi kalau sudah bayar tiket mahal, wkwkwkwk…. Frecciarossa kereta cepat dari Roma ke Venezia tak peduli apakah saya terkena macet akibat demo mendadak dan para pendemo tak peduli apakah saya punya janji dengan Frecciarossa. Pokoknya, mereka semua seakan bersekongkol untuk mempertontonkan pantat kereta yang menjauh dari kejaran saya. Apes tenan og….
Itu baru ditinggal kereta api yang saya sukai sejauh dia baik-baik pada saya. Nah, kalau ditinggal orang yang sangat kita cintai, tentu lebih tidak mengenakkan lagi; bahkan, meskipun kita bergaya tegar, bisa saja ya tetap mati gaya.

Teks bacaan hari ini melukiskan tanggapan Guru dari Nazareth terhadap pengalaman kematian orang yang sangat disayanginya. Kisah mengindikasikan bahwa blio ini sudah punya informasi sebelumnya bahwa Lazarus itu sakit. Orang pada umumnya bersepakat bahwa wujud mentok sakit adalah kematian. Akan tetapi, menurut Guru dari Nazareth ini,  bahkan sakit terminal pun tidak mengarah kepada kematian, tetapi pada kemuliaan Allah sendiri. Maksudnya gimana toh, Rom, aneh.
Saya jugak gatauwong teksnya memang bilang gitu. Tapi mungkin gampangnya ikuti saja ceritanya. Sudah diberi info orang kesayangannya sakit, kok malah njarak tidak segera ke Betania, malah menunggu dua hari; keburu mati, dan mati betulan kan. Minggu lalu Romo bilang orang njarak itu jahat. Apa ini gak jahat?
Lah, kalau njarak jahat ya jahat.

Kalau minggu lalu kemuliaan Allah itu ditunjukkan dengan tindakan Yesus menyembuhkan orang-buta-sejak-lahir pada hari Sabat, sekarang ini ditunjukkan dengan ‘membangkitkan’ Lazarus dari ujung sakitnya. Sudah saya singgung pada posting terdahulu ya: ini bukan ‘membangkitkan’ melainkan reanimasi. Dari situ seakan-akan dipesankan kepada pembaca bahwa memang bisnis Yesus ini bukan untuk menentang sunnatullah, memperpanjang hidup biologis, memperpanjang usia, melainkan untuk memberi jiwa supaya orang hidup lebih hidup lagi.

Itu mengapa meskipun Yesus dikatakan menangis, tangisannya bukanlah tangisan cengeng ala kena mental sinetron, melainkan tangisan sunnatullah: air mata itu tak tertahankan seperti air hujan meresap ke tanah #halah. Air matanya berderai, tetapi ada gerai harapan dalam dirinya akan kemuliaan Allah: hidup baru, dengan perspektif dan konteks barunya. Harapan macam begini, mungkin baik dijadikan menu sarapan untuk menjiwai hari, tetapi mungkin lebih baik dipasrahkan kepada Allah setelah makan malam atau sebelum tidur malam hari.

Konon ada sebuah keluarga yang membalik simbol alfa-omega (awal-akhir) pada nisan anak yang meninggal pada usia balita. Keluarga ini tentu tahu maksud alfa-omega, tetapi menunjukkan keyakinan sejatinya: akhir hidup anak kesayangan mereka adalah awal kehidupan, baik bagi anak kesayangan maupun mereka sendiri. Kembali ke imajinasi rahim. Andaikan dua janin hidup bersama di dalamnya dan yang satu mendahului pergi, bisa jadi yang satu sedih ditinggal (atau malah senang karena tak lagi rebutan?), menganggap saudaranya itu tak punya kehidupan lagi, tetapi sebetulnya yang terjadi justru saudaranya punya kehidupan yang lebih kaya lagi.
Barangkali itu berguna juga untuk menjawab pertanyaan tersembunyi setiap hati orang: ke mana hidupku ini bergerak kalau bukan antre ke kuburan atau krematorium?

Tuhan, mohon rahmat pengharapan supaya hidup kami senantiasa berjiwa, juga dengan menimba dari mereka yang telah mendahului kami. Amin.


MINGGU PRAPASKA V A/1
26 Maret 2023

Yeh 37,12-14
Rm 8,8-11
Yoh 11,1-45

Posting 2020: Hidup Animasi?
Posting 2017: Buat Apa Surga Neraka?
Posting 2014: Beriman atau Berjudi?